Menu Atas

 


SJ. Adam
Kamis, 27 Oktober 2022, 13.52.00 WIB
Last Updated 2022-10-27T21:11:04Z
Kelestarian Hutan Jawa

Sidang Gugatan KHDPK

Advertisement



aliansi Selamatkan Hutan Jawa saat berunjukrasa di Lapangan Monumen Nasional di Jakarta.


Dari Fakta Persidangan SK KHDPK

Tata waktu Penerbitan SK Ternyata Backdate

Perlawanan atas Kebijakan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang mengurangi hampir separuh luas wilayah pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa yang sedang dikelola oleh Perhutani, memasuki babak baru. Setelah sebelumnya dikritik dan didemo oleh puluhan ribu karyawan Perhutani beserta elemen masyarakat lainnya, kini keputusan pemangkasan wilayah kelola Perhutani sebanyak 1,1 juta hektar dari total 2,4 juta hektar yang selama ini dikelola dengan baik oleh Perhutani tersebut harus menghadapi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sekitar pukul 14:50 WIB, gugatan dimaksud teregister di PTUN Jakarta dengan nomor Perkara 275/G/2022/PTUN.JKT.

Demikian naskah Siaran Pers yang dikirimkan melalui Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Karyawan (Sekar) Perhutani Jawa Tengah, Ahmad Arif, Rabu sore (10/8/2022)

Para Penggugat yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa meminta kepada Menteri LHK agar membatalkan Surat Keputusan Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten yang ditandatangani 5 April 2022 (SK 287/KHDPK).

“Hutan dan alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu kita. Filosofi itulah yang menjadi salah satu concern, mengapa kami menolak kebijakan KHDPK. Pengelolaan hutan jawa yang sudah baik, kami harap tetap dipertahankan agar tetap sustainable. Karena itu, kami mengambil keputusan untuk memperjuangkan hutan jawa dengan mengajukan gugatan di PTUN guna membatalkan SK 287/KHDPK, yang telah teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 10 Agustus 2022,” ujar Mochamad Ikhsan, perwakilan salah satu penggugat.  

Sebagai informasi, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa sebagai penggugat SK 287/KHDPK terdiri dari Serikat Karyawan Perum Perhutani (SEKAR PERHUTANI), Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P), Serikat Rimbawan Perhutani (SERIMBA-PHT), Serikat Rimbawan Pembaharuan Perhutani (SERIMBA-PPHT),  Perkumpulan Bina Karya Patria, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sinar Harapan Kaledong (LMDH SINAR HARAPAN KALEDONG), serta beberapa perwakilan pegawai Perhutani dan elemen masyarakat. 

Naskah SK backdate

Informasi tentang fakta perkembangan sidang gugatan terbaru yang didapatkan dari naskah siaran pers yang diedarkan oleh Ketua Serikat Karyawan Perhutani Jawa Tengah,  Ahmad Arif, Rabu sore (26/10/2022) mengatakan bahwa terjadi polemik yang memanas. 

Polemik kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang 
ditetapkan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA2/4/2022 tanggal 5 April 2022 (SK 287) makin memanas. Pasalnya, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa yang terdiri dari Serikat Karyawan Perhutani Bersatu, Lembaga Masyarakat Desa Hutan, dan beberapa organisasi lingkungan mulai menguliti satu persatu cacat bawaan SK 287 melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Kementerian LHK ditengarai menerbitkan Surat Keputusan backdated demi menutupi cacat hukum yang terkandung dalam penerbitan SK 287. Dalam gugatannya, aliansi mendalilkan bahwa SK 287 bertentangan dengan PP 23/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja karena wilayah KHDPK ditetapkan di dalam wilayah Perhutani, sementara, Pasal 112 PP 23/2021 melarang hal tersebut. 

Namun secara mengejutkan, tiba-tiba pada sekitar 15 September 2022, KLHK menerbitkan SK. 264/MENLHK/SETJEN/PLA.0/3/2022 (SK 264), dimana tanggal ditandatanganinya SK tersebut 
tertulis pada 25 Maret 2022, 10 hari sebelum terbitnya SK 287. 

SK 264 pada pokoknya memangkas wilayah kerja Perhutani sebelum penetapan KHDPK sehingga dapat melemahkan dalil gugatan Aliansi Selamatkan Hutan Jawa.

Akrobat Hukum 

Celakanya, akrobat hukum terjadi dalam penerbitan SK 264. Meskipun terbit 10 hari sebelum SK 287, namun dalam pertimbangannya, SK 264 sudah mengacu ke SK 287. Bagaimana mungkin SK 264 dapat mengacu ke keputusan yang belum ada. Sebaliknya, dalam pertimbangan SK 287 justru tidak terdapat SK 264. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa SK 264 tersebut dibuat secara melawan hukum, yakni tanggal penerbitan dibuat tidak sesuai dengan tanggal asli keputusan tersebut disahkan (backdated).

“Kami terkejut tiba-tiba ada SK 264 yang terbit sebelum SK 287, karena jika benar begitu dalil gugatan kami menjadi lemah. Namun ternyata, SK 264 diterbitkan secara backdated. Kondisi itu justru memperlemah posisi KLHK di hadapan hukum administrasi negara. Kami sangat menyayangkan tindakan KLHK tersebut dan tentunya akan ada konsekuensi hukum jika terdapat oknum yang terlibat dalam penerbitan keputusan backdated,” tegas Senior Associate INTEGRITY Law Firm, Muhammad Raziv Barokah selaku kuasa hukum pada perkara gugatan SK 287.
Pencabutan SK 264 dan Blunder KLHK
Seolah ingin memperbaiki kesalahan fatalnya, eksistensi SK 264 rupanya tidak bertahan lama. Dalam agenda sidang pembacaan jawaban gugatan, KLHK menyatakan SK 264 telah dicabut berdasarkan SK Menteri LHK Nomor SK.1012/Menlhk/Setjen/Pla.0/9/2022 tanggal 20 September 2022 (“SK 1012”).
Artinya, SK 264 tersebut hanya seumur jagung, yaitu 5 (lima) hari. Namun uniknya, pencabutan tersebut dilakukan dengan alasan bahwa terdapat substansi yang tidak selaras dengan kebijakan penataan hutan di Jawa, sehingga harus disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021, dan
bukan karena alasan backdated.
Pencabutan SK 264 ini mendapat tanggapan kembali dari Aliansi Selamatkan Hutan Jawa. Ketua Serikat 
Karyawan Perhutani Bersatu, M. Ikhsan menyampaikan bahwa cacat hukum dalam penetapan KHDPK 
berdasarkan SK 287 sangat vulgar, sehingga upaya menutupi kecacatan tersebut terlalu sulit dilakukan.
“Menerbitkan SK 264 dengan backdated saja itu sudah blunder, kemudian begitu ketahuan, langsung buru-buru dicabut dengan alasan yang dibuat-buat juga. Itu juga blunder lagi, karena semakin mengonfirmasi ketidakberesan yang terkandung dalam SK 287,” ujar Ikhsan.
Ikhsan juga menegaskan sekaligus berharap agar seluruh pihak menempuh jalur hukum dengan cara-cara yang berintegritas dan terhormat agar peristiwa akrobat hukum serupa tidak terulang lagi pada agenda-agenda sidang berikutnya. Selain itu, ia berharap oknum yang terlibat dalam penerbitan keputusan backdated tersebut diberikan sanksi yang sepadan. 
“Untuk menyelamatkan marwah Pemerintah, Kementerian LHK dan Ibu Menteri, saya rasa pihak-pihak 
yang menjerumuskan beliau dengan mendorong penandatanganan keputusan backdated tersebut harus diberikan sanksi yang tegas," pungkas M. Ikhsan, salah  satu perwakilan penggugat.  ***