Menu Atas

 


SJ. Adam
Senin, 12 Mei 2008, 03.21.00 WIB
Last Updated 2008-05-17T06:23:52Z
Story - Forest - Utilization

Krisis BBM, Kereta Api Uap Dipakai Lagi?

Advertisement
Story – Forest – Utilization

Dari koleksi informasi yang saya dapatkan sewaktu mampir di Musium Kereta Api Indonesia di Ambarawa, Kabupaten Semarang, saya lalu membayangkan kalau semisal lokomotif mesin uap dipakai lagi di jaman sekarang, masa dimana persediaan bahan bakar minyak [BBM] Bumi telah menyusut.

Berpatokan dari tingkat konsumsi kayu bakar jati sejumlah 3 meter kubik [ukuran tumpukan kayu bakar lazim disebut stapel meter/sm] untuk menjalankan lokomotif [B2502; B2503; E1060] yang menarik dua gerbong sejauh 10 kilometer, maka sebagai pegangan rata-rata dapat diperhitungkan kalau satu lokomotif uap akan memerlukan 30 sm kayu bakar untuk bergerak sejauh 100 kilometer.

Sebut saja, di tahun 1940 [jaman normal transportasi lokomotif uap di Hindia Belanda] terdapat 1000 lokomotif yang beroperasi [data tepatnya konon 982], sehingga dengan asumsi setiap hari satu lokomotif berjalan 100 kilometer, diperlukan sebanyak 30.000 sm kayu [30X1000] setiap hari, atau sejumlah 900.000 sm untuk satu bulan [30.000 smX30 hari], ataupun berjumlah 10.950.000 sm kayu bakar dalam satu tahun [365 hari].

Kepada kawan saya yang Administratur Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur, Imam Fuji Raharjo, dan beberapa kawan lain di Kantor Perhutani Unit Jawa Tengah, iseng-iseng saya sodori angka tersebut. Sanggupkah kawasan hutan Perhutani menyediakannya ?

Mereka berkata, bisa saja, karena jumlah luasan total area hutan produksi Perhutani saat ini relatif masih seperti sedia kala, ketika di masa pemerintahan kolonial dulu dipetakan.

Dalam disiplin ilmu produksi kayu hutan, salah satunya dikenal dengan istilah etat luas atau pun riap produksi hutan kayu, yang secara sederhana berangkat dari perhitungan kemampuan setiap pohon hutan di dalam menghasilkan besaran maupun volume kayunya selama periode tertentu, sehingga dapat ditaksir jumlah produksi kayu tertentu dari total tegakan pohon dalam setiap luasannya.

Di dalam prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan [silvikultur] dikenal pula adanya teknik penjarangan deretan pohon di hutan produksi, diantaranya dilakukan dalam umur tanaman lima tahun pertama dan lima tahun kedua.

Di kawasan hutan produksi kayu jati, kayu-kayu hutan hasil perlakuan penjarangan itu pulalah yang sesungguhnya dipersiapkan sebagai kayu bahan bakar, sehingga sulit diragukan kalau rancangan klas perusahaan hutan jati berikut sebaran pembagian lokasi Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] yang nyaris merata di seantero pelosok pulau Jawa, adalah juga dimaksudkan untuk pasokan kebutuhan transportasi Kereta Api di masanya dahulu.

Soal kecepatan laju kereta api uap, jaman dulu pun sudah ada yang mampu mencapai 90 kilometer per jam, sedangkan ihwal kenyamanan gerbongnya, bukankah bisa dihibridakan dengan teknologi moderen?
[SJTE – P05J03]