Advertisement
Story – Teak wood – Trade
Menurut Anda, sekarang bagaimana sebaiknya arah Perhutani dalam memasarkan produksi kayunya ?
Sekarang sebagaimana lama sebelumnya telah dilakukan, kita harus melayani keempat segmen ini sekaligus (lihat Empat Lingkaran Konsumen Kayu Jati). Karena memang pangsanya sudah tersedia. Tinggal kita membedakan segmen ini saja.
Oke, kalau segmennya industri dan pedagang besar itu dilayani dengan pola khusus. Ibaratnya kalau kita dagang beras, pembeli dalam jumlah satu ton tentu pelayanannya akan berbeda dengan yang beli satu kilogram.
Juga pelayanan terhadap para broker yang ikut numpang hidup dari aktivitas bisnis kayu. Begitu juga khusus kepada kalangan pengrajin kayu selaku komunitas pengguna dalam jumlah kecil.
Sebetulnya, skema ini sudah ada dalam PPDN (pedoman penjualan dalam negeri) yang diterbitkan Direksi Perhutani. Jadi, sudah ada pedoman penjualan untuk tahun 2007, kemudian segmentasi penjualan pada tahun 2008, serta nanti dalam tahun 2009.
Jadi untuk masing-masing segmen sudah ada patokannya ?
Sudah terjabarkan dengan baik. Untuk para pengrajin dan warung kayu pelayanannya berpedoman dengan PSO (public service obligation). Itu artinya punya wadahnya juga.
Kalau KBM Probolinggo, dibandingkan dengan KBM Madiun dan lebih lagi KBM Bojonegoro, ibarat petinju, kami cuma kelas bulu. Sedangkan Madiun dan Bojonegoro itu tergolong kelas berat. Dari fisik kualita kayunya. Bukan kriteria mutunya.
Kalau soal mutu sortimen kayu sama saja. T di Madiun, Bojonegoro dan Probolinggo sama saja ukurannya. Perbedaan kualitas, salah satu contonya, untuk kayu jati yang dipasarkan Probolinggo yang berasal dari daerah Banyuwangi mengandung alur minyak.
Terus yang kedua, kayu jati dari Banyuwangi Selatan, Jember dan Bondowoso itu warnanya agak pucat. Istilah pedagang itu “jati Cina”. Di tempat kami (KBM Probolinggo) rata-rata diameter kayunya lebih kecil dibanding barang serupa yang berasal dari daerah hutan Saradan misalnya.
Oleh karena itu harusnya masing-masing KBM ini (Probolinggo, Madiun, Bojonegoro) dapat membedakan sisi mana kelemahan dan kekuatannya dalam memasarkan masing-masing kayu dagangannya.
Harusnya kita bisa membedakan bagaimana kekuatan segmentasi masing-masing KBM di Jatim ini. Masing-masing harus memahami dan memberdayakan kekuatannya.
Kalau di KBM III (Probolinggo), saya punya kekuatan yang melebihi KBM I (Bojonegoro) dan KBM II (Madiun). Kami lebih menang dalam persediaan kayu jati sortimen AI dan AII. Karena penggunanya jelas dan jumlahnya banyak. Untuk sasaran konsumen di Pasuruan dan Bali. Sehingga untuk bertarung di sortimen AI dan AII, Bojonegoro dan Madiun pasti megap-megap. (Hard breathing)
Kekuatan ini saya gunakan. Saya tidak lagi menjual hanya satu jenis sortimen kayu saja. Pembeli sortimen AI dan atau juga para pembeli sortimen kayu A II, harus juga beli AIII. Karena kalau tidak ada yang mau beli, sortimen A III akan menumpuk. Tidak terjual.
Cara berdagang seperti itu tidak melanggar peraturan Perhutani ?
Tidak ada yang terlanggar oleh cara ini. Perkara strategi menjual kayu akan terserah kreativitas GM KBM masing-masing. Saya tetap berpedoman pada aturan dari direksi Perhutani. Pendek kata, direksi yang membuat pedomannya, dan selanjutnya saya menerjemahkannya secara teknis lapangan.
Aturan teknis ini yang dirancang dengan strategi mengenali perilaku konsumen atau pun sifat pasar lokal kami. Dari situ saya dapat mengukur potensi kekuatannya, sehingga saya bisa menjual kayu per hari senilai satu milyar rupiah.
Sejak kapan hal itu dilaksanakan?
Sejak bulan Agustus, tak lama setelah saya ditugasi selaku GM KBM Probolinggo. Semenjak itu pula, setiap kali dijadwalkan pasar lelang kayu, Perhutani KBM Pemasaran kayu Probolinggo selalu dominan hasil penjualannya. KBM III sejauh ini belum pernah kalah dalam penjualan kayu dengan cara lelang, di manapun itu dilakukan. Padahal kekuatan fisik kami kecil.
Kayu jenis apa saja yang laris ketika dijual dengan sistem lelang, pada tempat Anda ?
Selalu kayu baru (hasil tebangan baru, red). Saya tidak akan melelang sortimen kayu yang tidak disukai pasar lelang. Contohnya, untuk lelang konsumen butuh kayu ukuran pendek. Maka, saya tidak jual ukuran panjang.
Sampai bisa akurat membaca kemauan pasar, apa mengerahkan tim intelijen khusus ?
Kalau sekedar membaca keinginan pasar sih cukup oleh GM. Bukan tugas intelijen. Ada memang istilah intelijen pasar. Tetapi ya, seorang GM harus pula dapat berperan intelijen. Tidak sulit kok membacanya. Bukankah sudah ada opsich/oversight (daftar kapling kayu untuk dilelang). Ini saja yang perlu dicermati setiap kali mau menggelar lelang. Kemudian setiap kali usai lelang, pelajari pula mengapa kayu-kayu tertentu susah laku. (P09J03.2. – SJTE)
Percakapan dengan General Manajer (GM) Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) Pemasaran Kayu Perum Perhutani Jawa Timur di Probolinggo, Ngakan Putu Adnyana.
Menurut Anda, sekarang bagaimana sebaiknya arah Perhutani dalam memasarkan produksi kayunya ?
Sekarang sebagaimana lama sebelumnya telah dilakukan, kita harus melayani keempat segmen ini sekaligus (lihat Empat Lingkaran Konsumen Kayu Jati). Karena memang pangsanya sudah tersedia. Tinggal kita membedakan segmen ini saja.
Oke, kalau segmennya industri dan pedagang besar itu dilayani dengan pola khusus. Ibaratnya kalau kita dagang beras, pembeli dalam jumlah satu ton tentu pelayanannya akan berbeda dengan yang beli satu kilogram.
Juga pelayanan terhadap para broker yang ikut numpang hidup dari aktivitas bisnis kayu. Begitu juga khusus kepada kalangan pengrajin kayu selaku komunitas pengguna dalam jumlah kecil.
Sebetulnya, skema ini sudah ada dalam PPDN (pedoman penjualan dalam negeri) yang diterbitkan Direksi Perhutani. Jadi, sudah ada pedoman penjualan untuk tahun 2007, kemudian segmentasi penjualan pada tahun 2008, serta nanti dalam tahun 2009.
Jadi untuk masing-masing segmen sudah ada patokannya ?
Sudah terjabarkan dengan baik. Untuk para pengrajin dan warung kayu pelayanannya berpedoman dengan PSO (public service obligation). Itu artinya punya wadahnya juga.
Kalau KBM Probolinggo, dibandingkan dengan KBM Madiun dan lebih lagi KBM Bojonegoro, ibarat petinju, kami cuma kelas bulu. Sedangkan Madiun dan Bojonegoro itu tergolong kelas berat. Dari fisik kualita kayunya. Bukan kriteria mutunya.
Kalau soal mutu sortimen kayu sama saja. T di Madiun, Bojonegoro dan Probolinggo sama saja ukurannya. Perbedaan kualitas, salah satu contonya, untuk kayu jati yang dipasarkan Probolinggo yang berasal dari daerah Banyuwangi mengandung alur minyak.
Terus yang kedua, kayu jati dari Banyuwangi Selatan, Jember dan Bondowoso itu warnanya agak pucat. Istilah pedagang itu “jati Cina”. Di tempat kami (KBM Probolinggo) rata-rata diameter kayunya lebih kecil dibanding barang serupa yang berasal dari daerah hutan Saradan misalnya.
Oleh karena itu harusnya masing-masing KBM ini (Probolinggo, Madiun, Bojonegoro) dapat membedakan sisi mana kelemahan dan kekuatannya dalam memasarkan masing-masing kayu dagangannya.
Harusnya kita bisa membedakan bagaimana kekuatan segmentasi masing-masing KBM di Jatim ini. Masing-masing harus memahami dan memberdayakan kekuatannya.
Kalau di KBM III (Probolinggo), saya punya kekuatan yang melebihi KBM I (Bojonegoro) dan KBM II (Madiun). Kami lebih menang dalam persediaan kayu jati sortimen AI dan AII. Karena penggunanya jelas dan jumlahnya banyak. Untuk sasaran konsumen di Pasuruan dan Bali. Sehingga untuk bertarung di sortimen AI dan AII, Bojonegoro dan Madiun pasti megap-megap. (Hard breathing)
Kekuatan ini saya gunakan. Saya tidak lagi menjual hanya satu jenis sortimen kayu saja. Pembeli sortimen AI dan atau juga para pembeli sortimen kayu A II, harus juga beli AIII. Karena kalau tidak ada yang mau beli, sortimen A III akan menumpuk. Tidak terjual.
Cara berdagang seperti itu tidak melanggar peraturan Perhutani ?
Tidak ada yang terlanggar oleh cara ini. Perkara strategi menjual kayu akan terserah kreativitas GM KBM masing-masing. Saya tetap berpedoman pada aturan dari direksi Perhutani. Pendek kata, direksi yang membuat pedomannya, dan selanjutnya saya menerjemahkannya secara teknis lapangan.
Aturan teknis ini yang dirancang dengan strategi mengenali perilaku konsumen atau pun sifat pasar lokal kami. Dari situ saya dapat mengukur potensi kekuatannya, sehingga saya bisa menjual kayu per hari senilai satu milyar rupiah.
Sejak kapan hal itu dilaksanakan?
Sejak bulan Agustus, tak lama setelah saya ditugasi selaku GM KBM Probolinggo. Semenjak itu pula, setiap kali dijadwalkan pasar lelang kayu, Perhutani KBM Pemasaran kayu Probolinggo selalu dominan hasil penjualannya. KBM III sejauh ini belum pernah kalah dalam penjualan kayu dengan cara lelang, di manapun itu dilakukan. Padahal kekuatan fisik kami kecil.
Kayu jenis apa saja yang laris ketika dijual dengan sistem lelang, pada tempat Anda ?
Selalu kayu baru (hasil tebangan baru, red). Saya tidak akan melelang sortimen kayu yang tidak disukai pasar lelang. Contohnya, untuk lelang konsumen butuh kayu ukuran pendek. Maka, saya tidak jual ukuran panjang.
Sampai bisa akurat membaca kemauan pasar, apa mengerahkan tim intelijen khusus ?
Kalau sekedar membaca keinginan pasar sih cukup oleh GM. Bukan tugas intelijen. Ada memang istilah intelijen pasar. Tetapi ya, seorang GM harus pula dapat berperan intelijen. Tidak sulit kok membacanya. Bukankah sudah ada opsich/oversight (daftar kapling kayu untuk dilelang). Ini saja yang perlu dicermati setiap kali mau menggelar lelang. Kemudian setiap kali usai lelang, pelajari pula mengapa kayu-kayu tertentu susah laku. (P09J03.2. – SJTE)