Menu Atas

 


SJ. Adam
Minggu, 13 Januari 2008, 00.29.00 WIB
Last Updated 2008-01-13T08:34:17Z
Story - Teak wood - Trade

Empat Otoritas GM Pemasaran Kayu Jati

Advertisement
Story – Teak wood – Trade


Lanjutan percakapan dengan General Manajer (GM) KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Pemasaran Kayu Perum Perhutani Jawa Timur untuk area Probolinggo, Ngakan Putu Adnyana.


Apa saja otoritas yang disandang GM KBM Pemasaran Kayu Perhutani ?

Kita diberi wewenang empat saluran penjualan. Pertama KSP (kerjasama produksi, red.), kedua kontrak pembelian, ketiga penjualan langsung atau lelang, dan yang keempat melayani PSO (public service obligation). Masing-masing saluran penjualan itu ada targetnya. Sesuai RKAP (rencana kelestarian anggaran perusahaan) ada targetnya: KSP berapa, kontrak berapa, penjualan langsung atau lelang berapa dan tentu saja yang untuk PSO tadi.

Di dalam RKAP sudah dibuat semacam rencana operasional pendapatan: dari lelang sekian milyar, kontrak sekian, KSP sekian milyar dan seterusnya.

Apa saja pertimbangan yang dipakai untuk menghitung masing-masing target saluran tersebut ?

Pertama adalah dengan target produksi dari masing-masing daerah KPH (kesatuan pemangkuan hutan). Dari sini dapat diketahui berapa ketersediaan masing-masing tebangan. Tebangan A sekian, B sekian.

Itulah gunanya calon pejabat tinggi Perhutani diharuskan lebih dulu melalui jenjang jabatan KSPH (kepala seksi perencanaan hutan), sehingga dapat benar-benar mengerti kualifikasi masing-masing tebangan.

Ada perbedaan pokok antara menjual kayu dari hasil tebangan A (tebangan habis untuk pohon yang telah masak tebang) dengan tebangan kategori B (misalnya hasil tebang penjarangan pohon). Pembedaan kualifikasi ini merujuk pada kaidah basic ilmu kehutanan yang intinya berorientasi kepada komitmen pelestarian lingkungan.

Artinya, kayu-kayu yang kemudian dipasarkan dalam beragam saluran penjualan tersebut, merupakan hasil surplus dari tindakan pelestarian hutan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa karakter produksi kayu Perhutani laiknya bukan seperti sifat pabrikan yang dapat seenaknya memperbesar kapasitas produksinya demi semata memenuhi tuntutan permintaan pasar.

Maksud Anda, walaupun pasar sedang tidak booming permintaan ukuran kayu tertentu, tetapi Perhutani akan tetap menyediakannya juga karena ukuran dimaksud niscaya selalu ada akibat proses silvikulture ?

Benar. Dan disinilah tugas mulia aparat Perhutani bagian pemasaran. Yakni agar persediaan kayu seperti tersebut dapat tetap terjual dengan harga signifikan, sehingga pekerjaan pelestarian hutan (komitmen utama kaum rimbawan) dapat senantiasa terbiayai.

Satu-satunya aturan baku dalam pemasaran kayu Perhutani adalah harga. Harga tidak boleh turun, sehingga harus selalu dicermati dengan seksama. Dari situ, sejauh kewenangan sebagai GM, saya lalu berkreasi.

Misalnya, seperti sudah diungkapkan tadi. Kepada pembeli beras dalam jumlah satu ton tentu akan berbeda perlakuannya daripada yang hanya beli sekilo. Kalau untuk yang satu ton ya diferensiasinya diturunkan. Juga pembedaan yang lain, uang letaknya tidak satu bulan misalnya.

Tetapi bisa lebih lama lagi dengan keleluasaan menitipkan kayunya di area Perhutani meskipun transaksi sudah terjadi. Karena dia belinya sekaligus sepuluh ribu kubik. Contohnya, (menyebut tiga nama pengusaha: Abdulah, Mukhsin, Teguh, red). Itu pembeli saya yang paling besar. Rata-rata dia satu hari membeli tidak kurang senilai Rp680 juta per hari.

Di KBM III (Probolinggo) tidak berlaku istilah tandon, yang berlaku adalah uang muka. Contohnya, orang beli kayu, oke saya layani safe (dijamin pasti tersedia barang). Bapak mau beli sebanyak 5000 meter kubik saya siap melayani. Tapi, taruh dulu uang mukanya. Kalau bapak tidak jadi beli maka uang mukanya tidak bisa ditarik.

Sedangkan cara tandon (menitipkan uang senilai harga kayu yang akan dibeli) cenderung merugikan Perhutani. Karena jika mendadak pembelian dibatalkan, mereka meminta uangnya kembali. Keharusan menyetorkan uang muka itu agar cashflow Perhutani dapat terjaga, sehingga pekerjaan pengelolaan hutan dapat terjamin pula.

Tadi dikatakan, kayu jati sortimen AIII di Probolinggo kurang diminati karena kualitas rendah. Kemudian Anda menetapkan agar para pembeli AI atau pun AII juga mau beli AIII. Hasilnya ?

Sampai hari ini sisa stok AIII kami masih 5000 kubik. Sebagian besar jati doreng dan alur minyak asal KPH Banyuwangi Utara. Prediksi saya pasar hanya akan mampu menyerap 2000 kubik, karena doreng itu harus melalui perlakuan khusus, sehingga menjualnya pun agak sulit.

Sedangkan target produksinya dalam tahun 2007 sejumlah 10.800 meter kubik. Ketentuan yang saya tetapkan agar kayu jenis ini dapat pula terjual adalah enam banding satu. Yaitu setiap pembelian sebanyak 6 kubik kayu AI harus mau juga beli sekubik kayu AIII.

Mereka pasti mau, karena keuntungan dari mengolah AI masih lebih tinggi. Dikenal istilah kayu AI “dada menthok”. Yaitu ukuran kayu AI: diameter 16 sampai 19 dengan panjang 2 meter up, itu sangat disukai pasar. Harga belinya cukup murah tapi multiguna, buat bahan mebel dan sebagainya.

Sortimen lain yang juga diminati, khususnya di Pasuruan, yakni kayu “pitonan”, ukuran panjang 4 meter dengan diameter tujuh centi. Untuk kayu AIII kami maklum, karena bila diolah rendemannya akan jatuh. Soalnya dari tempat kami diameternya paling besar hanya 35 sentimeter. Sementara dengan harga yang sama kayu AIII di Madiun diameternya mencapai 40 –up.

Berapa harga rata-rata terjual, sortimen kayu jati AIII di KBM Probolinggo ?

Sekitar Rp3 jutaan. Dan, harga segini sudah cukup baik daripada dijual secara diskon seperti pernah dilakukan sebelumnya. Coba saja hitung, dengan harga jual dasar (HJD) rata-rata cuma Rp3,2 juta kalau sampai kena diskon 40 % jatuhnya berapa ? Silakan ikut berhitung.

Adakah pembeli baru, disamping pelanggan lama, yang sudah rutin bertransaksi dengan KBM Probolinggo ?

Ada. PT. SAS, perusahaan industri kayu cukup besar di Tegal, sudah mulai masuk ke tempat saya. Biasanya dia mengambil dari Madiun. Mungkin karena pelayanan kami lebih baik. Tapi memang, karena A III dari tempat saya berani jual dengan diferensiasi harga nol.

Artinya, dijual dengan tidak melebihi HJD yang telah ditetapkan Perhutani. Hanya dengan HJD plus 5% ongkos angkut asal kayu. Harap maklum, kalau di Madiun memang kayunya lebih bagus, maka kalau saya sampai pasang harga “dif” makin mati, dong. Semakin dijauhi pembeli. (P09J03.3 – SJTE)