Menu Atas

 


SJ. Adam
Kamis, 20 Desember 2007, 05.01.00 WIB
Last Updated 2021-01-28T10:35:26Z
NASIONALNEWSWISATA HUTAN

Wisata Mebel Pasuruan

Advertisement

Sentra Industri Mebel Tradisi Kota Pasuruan

Naskah ini merupakan hasil reportase tanpa direncana. Boleh dikata narasi ini tercipta sebagai kilasan spontan dari sebuah perjalanan liputan selainnya yang memang dirancang, di daerah Jawa Timur. Ketika siang hari Jumat (10/8/2007) beranjak dari Probolinggo ke Surabaya.

Memasuki kawasan kota Pasuruan, di sepanjang Jalan Gatot Subroto yang hanya pas untuk berpapasan dua kendaraan beroda empat atau lebih (jumlah roda yang berderet maksudnya), laju mobil yang memelan memaksa sepasang mata pengendara untuk melirik ke kanan dan ke kiri di sepanjang jalur yang membentang sekira panjang tiga kilometeran itu.

Tak dinyana, pandangan mata kami disana selalu terantuk pada deretan obyek yang sungguh pas untuk memenuhi isian page di tampilan blog ini. Rentetan obyek tersebut adalah deretan rumah dan toko yang menjajakan aneka produk furniture atau pun mebelair berbahan kayu.

Yeah, tentu saja akan jadi kurang ajar jikalau momentum yang begini berlalu sia-sia. Percuma saja semalaman sebelumnya begadang berkendara dari Semarang sampai Probolinggo. Harap maklum, rute berangkat Surabaya ke Probolinggo subuh hari tadi tidak lewat jalan ini. Jadi baru ketahuan sekarang kalau di pasuruan ada obyek yang sesuai.

Wuih, obyek ini sungguh menambah perbendaharaan kenangan khas tentang kota Pasuruan, yang sebelumnya sempat pula ikut meroket pamornya berkat goyang ngebor sinden dangdut Inul Darasista yang arek Kejapanan itu.

Laju mesin mobil ber-BBM bio diesel ini akhirnya diputuskan untuk berhenti di sebuah warung makan kecil, khas rakyat Pasuruan. Sembari menguyah nasi rames khas Jawa Timur-an untuk memeuhi hajat ‘lunch’ pengganjal perut, imaginasi pikiran pun menyusun rencana improvisasi.

Foto tustel digital berkekuatan delapan megapixel pun segera beranjak dari bungkusnya. Ditenteng dengan cangklongan melingkar leher siap merekam mangsanya.

Jumat tengah hari itu jalanan tersebut sedikit lengang dari aktivitas transaksi. Maklum, di kawasan berpenghuni mayoritas muslim ini tentu para pedagangnya sedang khusuk menunaikan sembahyang jumat.

Deretan rumah yang sekaligus berfungsi toko tersebut disana itu agaknya merupakan showroom atau pun outlet tempat pajang-jaja aneka barang dagangan terbuat dari kayu berupa umumnya meja dan kursi tamu. Hasil produksi turun temurun secara dari tiga desa disitu, yakni Sebani, Gadingrejo dan Bukir.

Ya, kemampuan memproduksi barang terbuat dari kayu tersebut pastilah sudah berlangsung secara tradisonal selama beberapa generasi oleh sebagian banyak penduduk di sana.

Konon asal muasalnya kegiatan ketrampilan olah kayu bernuansa seni ini dikerjakan oleh sekelompok orang yang mukim di desa ‘bukir’. Bukir adalah lafal kata orang Madura yang kalau dilafalkan secara bahasa Jawa terdengar wukir alias kegiatan mengukir. Entahlah. Apakah selalu ada hubungannya antara kegiatan seni ukir dengan kayu?

Menjelang pukul dua siang, sesaat sang surya menggelincir dari puncak teriknya, mulailah bermunculan kegiatan khas orang-orang disana. Terlihat sejumlah kuli panggul memindahkan barang mebelair ke bak kendaraan pickup. Ataupun yang sebaliknya, menurunkannya untuk mengisi ruang-ruang pajang itu.

Terlihat pula satu dua becak khas Pasuruan mengangkut kursi-kursi. Kemudian dari yang mula-mula jumlahnya terhitung jari itu menjadi kian banyak berlalu lalang hilir mudik.

Awalnya tak ada yang menyadari kalau ada seorang juru potret sedang mengabadikan potret aktivitas pergumulan pemenuhan nafkah itu, sehingga perilaku mereka berlangsung wajar seperti kesehariannya.

Namun begitu seseorang menyaksikan ada tukang foto tengah beraksi, mereka pun pasang gaya beragam pose yang mempertontonkan rasa riang. Bahkan tak segan berteriak minta difoto.

Banyak pula yang mengira kami crew salah satu stasiun televisi yang tengah men-shot gambar aktivitas mereka.

Usai jeprat-jepret di tepi jalan yang tidak lebar ini, kami pun mendatangi salah satu toko, untuk sekedar menggali informasi dari beberapa orang yang tengah berkerumun disana. Mereka pun menyambut dengan ramah dan tidak pelit berbagi informasi.

Salah satu diantaranya mengaku bernama Ismail, cukup detil dalam berkisah seputar bidang usaha khas di daerahnya itu. Dimulai dengan pengakuan kalau ruang tepian jalan disana memang terlalu sempit guna menampung kendaraan pengunjung yang berminat membeli barang dagangannya.

“Kebetulan sampean datang hari ini, jadi bisa dapat tempat parkir. Kalau hari Sabtu dan Minggu disini ramai kunjungan sehingga sulit mendapat tempat parkir mobil,” celetuknya.

Ya, di jalanan sempit itu terlihat beragam alat transportasi tak henti memadatinya. Mulai sarana angkut kegiatan setempat, dari rombongan becak yang bersliweran sembari mengangkut kursi, meja sampai almari ukuran jumbo. Pun sejumlah pickup, truk sampai kontainer panjang. Bis antar kota ataupun aneka kendaraan pribadi.


Ragam Konsumen Mebel Pasuruan

Pada hari Sabtu dan Minggu tempat ini padat pengunjung. Para konsumen sentra mebel itu berdatangan dari kota-kota terdekat sampai tempat-tempat yang jauh. Para tengkulak dari Ponorogo termasuk golongan pelanggan tradisional yang terhitung dekat.

Sedangkan pembeli tradisional yang lumayan jauh berdatangan dari arah Timur. Mulai dari orang Bali, Sumbawa sampai beberapa antero di Nusa Tenggara Barat. Mereka menyukai produk mebel Pasuruan karena berupa jenis polosan (tanpa ukiran rumit laiknya produk serupa eks Jepara), dan dijual dengan istilah mentahan atau barang setengah jadi yang leluasa untuk di-finishing sesukanya. Baik dengan vernis maupun dengan aneka warna warna.

Meskipun demikian para pedagang di sentra ini melayani pula permintaan pembeli yang ingin berupa produk jadi. Tinggal memberi tambahan ongkos berkisar Rp600 ribu sampai Rp700 ribu per set meja kursi, dari harga mentahannya.

Harga mentahannya pun tergolong cukup bersahabat, yang memungkinkan para tengkulak ambil untung manakala menjualnya lagi di daerah asalnya. Yakni mulai dengan kisaran harga Rp300-an ribu sampai yang Rp7,5 juta per set tersedia di sentra industri mebel ini.

Industri furniture kayu di Pasuruan, lazimnya berbasis bahan kayu jati. Kemudian ada varian bahan lainya berupa kayu sonokeling, mahoni dan akasia mangium. Pasokan bahan baku selain memanfaatkan kayu dari hutan perhutani juga lazim dipakai kayu eks pekarangan rakyat.

“Beberapa waktu ini lagi ramai permintaan produk garden furniture,” ungkap seseorang diantara kerumunan pemberi informasi ini.
***

Kendala Angkutan Produk Kayu
Mengetahui sedang berbincang dengan wartawan, kerumunan pemberi informasi di sentra industri mebel Pasuruan ini tanpa ragu menyampaikan sejumlah kendala berkaitan dengan bidang usaha dan pekerjaannya.

Khususnya keluhan tentang masih banyaknya ‘gangguan’ dari serbaneka aparat negara yang mengatasnamakan peraturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pengangkutan kayu dan produk kayu.

“Kami mohon agar koran sampean memuat bagaimana aturan sebenarnya dalam pengangkutan kayu sebagai pedoman, sehingga tidak lagi menjadi sasaran cegatan aparat yang berdalih mempersalahkan keabsahan surat-surat yang ujung-ujungnya minta uang,” katanya.

Ismail, yang lama sebelumnya bekerja sebagai sopir truk angkutan kayu dengan mantap memaparkan beberapa jalur “rawan gangguan kutipan” dalam di sejumlah rute pengangkutan di daerah Jawa Timur, saat mengangkut kayu log maupun produk olahan/barang jadi.

“Sepanjang rute Trenggalek sampai pasuruan via Tulungagung – Blitar – Malang, terdapat sejumlah pos pemeriksaan yang rawan kutipan, dengan kategori terparah di daerah Malang,” katanya.

Per pos pemeriksaan rata-rata ia diminta uang sebanyak Rp20.000. Sejumlah pos dalam rute tersebut yaitu: Kebonagung, Gadang, Klenteng, Arjosari, pos di dekat pabrik rokok Bentoel, Timbangan dan Singosari.

Ia mengaku, tak jarang mendapat penekanan dari aparat dengan memintanya membuka paksa terpal penutup bak truk meskipun sudah memperlihatkan surat jalan dari Perhutani.

Ketika mengangkut produk kayu dalam bentuk mebel pun tetap mendapat perlakukan pemeriksaan sama kerasnya dari petugas di lapangan. “Minimal dikutip Rp5000 per pos,” akunya.

Rute-rute lainnya yang tergolong rawan cegatan, tuturnya, dulu terparah di daerah Mojosari dan Jombang. Sekarang di daerah Kertosono dan Saradan tergolong parah. Petugas pos polisi perempatan tak segan mengejar truk pengangkut kayu. “Mengangkut barang berbentuk mebel kayu alasan yang selalu dikemukakan petugas adalah faktor ketinggian muatan,” cetusnya.

Ia berkisah, dalam periode 1980-an, ketika Perhutani berwenang penuh menerbitkan pas angkutan kayu (harga pas kayu saat itu masih Rp2500), acapkali kena denda senilai Rp30 ribu.

Memasuki tahun 2000-an sampai sekarang, saat tidak berlaku lagi pos pemeriksaan Perhutani, keadaannya katanya menjadi lebih parah. Ia menyesalkan kenapa penghapusan pos tersebut tanpa adanya surat edaran sehingga menjadi alasan- yang selalu dicari-cari para petugas polisi di lapangan.

Dengan alasan tanpa disertai/tidak dapat menunjukkan surat jalan Perhutani itulah ia sering kena denda jalanan senilai Rp250 ribu.

Dengan beragam kesulitan semacam tersebut, para sopir angkutan kayu pun kompak bersiasat untuk hanya menjalankan kendaraannya pada jam-jam jalanan lengang pemeriksaan. Yaitu antara pukul 03 dini hari sehingga hanya keluar biaya cegatan berkisar Rp25 ribu sampai Rp30 ribu dibanding kalau jalan siang yang ramai cegatan.
***

Data Ringkas Produk dan Harga Mebel Bukir

Sentra Produksi: Sepanjang jalan Gatot Subroto – menghubungkan Pasuruan – Surabaya.
Home Industri: Desa Sebani –Gadingrejo – Bukir.
Bentuk Outlet: Ruko (Rumah merangkap toko)
Jumlah Outlet: 300-an Ruko
Varian Dagangan: Barang mebelair, Set Meja Kursi, Almari. Buffet
Bentuk Desain : Tradisional
Produksi Umum: Barang Mentahan/barang Setengah Jadi/Pra Finishing
Khas Produksi: Mebel Polosan/Bukan Ukir
Bahan Baku: berbasis Kayu Jati; Sonokeling; Mahoni; Akasia Mangium
Sumber Kayu: Dari hutan Perhutani dan kayu Hutan Rakyat
Harga Barang Mentahan: Rp300-an ribu per Set Mebelair (termurah) dan kisaran Rp5 juta sampai Rp7,5juta (termahal).
Satu Set Mebelair: Umumnya terdiri 4 Kursi dan 1 Meja.
Harga Finish Product (Finishing sesuai pemesan beli): Minimal tambah Rp600 ribu sampai Rp700 ribu ongkos per set mebelair
Konsumen Tradisonal: Pedagang Mebel dari Ponorogo; Bali; Sumbawa dan daerah Nusa Tenggara Barat. ***SJTE/Infojati