Menu Atas

 


SJ. Adam
Kamis, 20 Desember 2007, 04.09.00 WIB
Last Updated 2021-01-28T10:33:31Z
NEWS

Hutan Jati Jawa dan Peradaban Jaman Kayu

Advertisement

SEJARAH JATI

September 1874 Awal Pemetaan Hutan Jawa

Kedatangan masa pencerahan selepas dekade panjang jaman kegelapan oleh kungkungan kultur tradisi ortodoksi yang kaku khas masa lampau, dalam kurun abad pertengahan, bangsa-bangsa di Eropa pun dipenuhi gelora kebangkitan jaman renaisance. Suatu jaman yang berawal dengan memaraknya semangat eksplorasi pengetahuan tentang alam fisik dan hubungannya dengan keberadaan manusia.

Era kebangkitan pemikiran ini antara lain ditandai dengan kemunculan sosok-sosok pemikir berpengaruh seperti diantaranya Copernicus, Archimides, Galileo Galilei sampai kepada James Watt sang penemu mesin uap.

Empat sosok besar inilah setidaknya yang telah memberi andil kuat dalam penimbulan jaman kayu yang merupakan cikal bakal pertumbuhan peradaban moderen sehingga sekarang.
Copernicus mampu meyakinkan orang bahwa bentuk planet bumi bulat bak bola raksasa. Archimides memberikan pedoman tentang keadaan berat jenis material, sehingga benda seberat apapun asal sifat dasarnya ringan tetap dapat mengambang diatas air. Sedangkan
Galileo dengan hitungan-hitungan temuannya memudahkan orang merancang aneka barang kontruksi yang diinginkannya tanpa bertentangan dengan kaidah alamiah.

Jaman renaisance ditandai spirit penjelajahan hamparan bola Bumi. Karena bagi banyak penduduk Eropa masa itu, kecuali ingin membuktikan kebenaran teori bumi bulat, juga ditumpangi hasrat beroleh kemakmuran dari tempat-tempat yang jauh dari kediamannya, di segala sudut penjuru bumi ini.

Pemenuhan hasrat akan penjelajahan planet ini, tentu saja melahirkan tuntutan akan ketersediaan sarana transportasi yang dapat diandalkan, baik ketika menjelalah antero daratan ataupun saat harus menyeberangi samudera lautan.
Dari sinilah kiranya awal kemunculan jaman kayu, sebuah istilah sederhana guna menggambarkan betapa penting dan dominannya peranan kayu pada jaman itu. Wajar saja, dalam perkembangan teknologi yang tergolong masih sederhana kala itu, kayu menjadi pilihan utama karena sifatnya yang mudah diolah dan gampang diperoleh.

Penemuan mesin uap menimbulkan revolusi besar-besaran dari segi jumlah penggunaan kayu.
Khususnya untuk memenuhi tuntutan pembuatan maupun bahan bakar sarana transportasi yang berkapasitas jelajah lebih kuat. Baik dalam moda transportasi daratan berupa kereta api ataupun di lautan dengan kapal laut bermesin uap.
Sebelumnya, secara tradisional bangsa manusia pun telah bergenerasi memanfaatkan kayu sebagai bahan penting dalam peradabannya. Hanya saja, volume penggunaannya masih dapat tercukupi oleh riap pertumbuhan pohon secara alamiah.

Era mesin uap menyebabkan kemampuan alamiah seperti ini terlampaui. Akibatnya kawasan hutan di benua Eropa-lah yang pertama kali menjadi korban. Habis ditebang untuk keperluan gerak transportasi maupun bahan bakar banyak mesin pabrik. Berikutnya mudah ditebak, imbas jaman kayu pun rata menerpa antero kawasan hutan di segenap penjuru Bumi.

Untunglah, bangsa Jerman agaknya yang pertama kali menyadari datangnya situasi kritis tersebut. Mereka pun mulai mengembangkan ilmu kehutanan berbasis prinsip silvikultur guna pemulihan kawasan hutannya.

Dalam tahun 1849 didatangkan ahli kehutanan berkebangsaan Jerman. Ialah Y.N. Mullier dan Y.H.G. Yordens dan ditugaskan di hutan jati Rembang. Mullier dalam tahun 1865 pensiun sebagai inspektur kehutanan, dan disusul Yordes, bekas opsir angkatan laut, pensiun pula sebagai inspektur kehutanan dalam tahun 1866.
Dapat dikatakan, merekalah pioner yang didatangkan oleh kekuasaan kolonialis Belanda untuk membantu proses pemulihan sekaligus mencegah kerusakan hutan jati di pulau Jawa.

Pendataan dan Awal Pelestarian Hutan Jawa

Sebelum pengelolaan hutan ditangani para ahli di bidang pemerintahan, pendataan luas hutan di pulau Jawa belum pernah dilakukan. Sejarah hutan Jawa boleh dibilang, menunjukkan luas hutan yang cenderung terus menyusut. Meskipun tidak tersedia data pembanding yang dibuat pada masa kekuasaan VOC, guna mengetahui jumlah luasan sebelumnya.

Setelah era kumpeni berakhir ditangan Bataafsche Republiek, maka sesuai perjanjian (Constitutie der Bataafsche Republiek 1798) semua harta dan hutang kumpeni diambil alih oleh penguasa baru yang dipimpin Aziatische Raad, yang menurut pasal 249 harus membuat dan merencanakan charter untuk mengurus daerah jajahan.
Charter ini selesai dalam tahun 1803 dan pada tahun 1804 diberlakukan. Salah satu produk ketetapan dalam peraturan ini menyebutkan bahwa, ‘semua hutan di Jawa menjadi milik pemerintah.

Berlandaskan keputusan tersebut, maka mulai tahun 1808 oleh Daendels (Gubernur Jenderal, s/d Mei 1811) diangkat sejumlah pejabat: 1. Inspektur Jenderal Hutan Kayu untuk seluruh Jawa; 2. Sekretaris dan Fiskal diperbantukan kepada Inspektur Jenderal Hutan Kayu; 3. Presiden dan anggota untuk administrasi hutan kayu; 5. Posgangger dan; 6. Komisaris kayu. Kepada masing-masing pejabat tersebut dilekatkan kewenangan sesuai perintahnya.
Daendels (14 Januari 1808 s/d 16 Mei 1811 menjadi Gubernur Jenderal. Tijds. V. Ned. Ind. 1869 jg. 3 dl II blz. 158 G.H.v. Soest), dalam tahun 1808 menetapkan peraturan bahwa: a. Penguasaan hutan harus dilaksanakan oleh Boschwezen (untuk pertama kali istilah ini digunakan); b. Pemungutan hasil hutan harus dijalankan oleh Boschwezen; c. Perdagangan kayu oleh partikelir tidak lagi diijinkan.

Masa penataan kesatuan hutan

Selanjutnya, 57 tahun kemudian, terbitlah peraturan hukum pertama di bidang kehutanan, yakni Boschreglement 1865 yang merupakan produk hukum awal yang mengacu kepada azas kekekalan hutan. Pada intinya diundangkan agar dapat dicegah tindakan liar penebangan hutan Jawa yang telah mengancam kelestariannya.

Sesudah yang pertama tersebut, menyusul penetapan Boschreglement yang kedua pada 1874. Dengan produk peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan ini, dimulailah dilakukan pembagian kesatuan hutan di seluruh Jawa. Dalam masa ini pula penataan kawasan hutan mulai dapat ditetapkan meskipun belumlah sampai terinci.
Yaitu berawal dari tindakan penetapan batas kesatuan hutan yang dinamakan boschdistrict dengan landasan ordonansi 10 September 1874 Staatsblad No.215 dan mulai berlaku bersamaan dengan Reglement hutan baru pada tanggal 3 Mei 1875 (Stsbl.no.84)

Hutan-hutan jati di Jawa dan Madura dibagi-bagi menjadi 13 Distrik Hutan (J.W.H. Cordes, Inspekteur b.h. Boschwezen in Ned. Ind. De Djatibosschen op Jawa 1881 hal.255. 1887 meletakan jabatan Chef v.h. Indisch Boschwezen), sebagai berikut: 1. Karesidenan Banten dengan Kabupaten Cianjur dari karesidenan Priangan; 2. Karesidenan Priangan, kecuali Kabupaten Cianjur, dengan karesidenan Karawang dan Cirebon; 3. Karesidenan Tegal dan Pekalongan; 4. Karesidenan Semarang; 5. Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas; 6. Karesidenan Jepara; 7. Kabupaten Rembang dan Blora dan Karesidenan Rembang; 8. Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dari Karesidenan Rembang; 9. Karesidenan Surabaya dan Pasuruan; 10. Karesidenan Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi; 11. Karesidenan Kediri; 12. Karesidenan Madiun, kecuali Kabupaten Ngawi; dan 13. Kabupaten Ngawi dari Karesidenan Madiun dan Karesidenan Surakarta.

Dalam kawasan boschdistrict Priangan, Krawang, Banyumas, Bagelen dan Probolinggo-Besuki terdapat sebagian besar hutan rimba. Sedangkan hutan jati dalam 10 boschdistrict lainnya terdapat lebih kurang 600 ribu hektare.

Du Quesne van Bruchem (Tectona 1935 hal. 92) menceritakan pekerjaan panitia yang mengurus/memeriksa hutan jati di daerah hutan Pati (ex boschdistrict Jepara) dalam tahun 1776. Bahwa hutan jati sejak 1776 sampai tahun 1925 (kurun waktu 149 tahun) mengalami pengurangan luas mencapai lebih kurang 75 %.

Akan tetapi sempat muncul pula kasus anomali dalam pencatatan tentang jumlah luas hutan jati. Yaitu tersebut pada tahun 1874 dicatat luasnya hanya 600 ribu hektare. Namun hasil pencatatan ulang pada tahun 1940 justru menyebutkan luasan hutan jati sampai 824.049 hektare.

Ham, dalam notanya menggambarkan riwayat hutan boschdistrict Probolinggo- Besuki. Bahwa di masa kekuasaan kumpeni di sisi selatan kawasan hutan tersebut pernah terjadi banyak pengrusakan dan pembukaan kawasan hutan. Sekitar tahun 1770 tentara kumpeni melakukan ekspedisi dari Banyuwangi ke Jember melalui lereng selatan gunug Raung. Disini timbul peperangan hebat, karena ketika itu daerah Lumajang dan Blambangan adalah pusat perlawanan oleh kekuasaan setempat. Namun pemandangan pada 1884 tampak daerah tersebut sudah tertutup hutan lagi.

Awal Pemetaan Hutan

Aturan pengelolaan dan pengawasan hutan di seluruh Jawa pada tahun 1808 (Regeling v.h. beheer en de inspectie de bosschen op Java 26 Mei 1808 oleh Maarschalk en Guverneur Generaal Daendels. Tijds. V. Ned. Indie 1869 jg. 3 dl. II blz. 158), pada pengawas hutan pertama diangkat sebagai Inspekteur Generaal over de Houtbosschen van het eiland Java de Kolonel Karel von Wolzogen, memungkinkan dilakukan pendataan luas hutan di Jawa.
Pokok-pokok instruksi yang dikeluarkan oleh Inspektur Jenderal hutan kayu diantaranya menetapkan sebagai berikut: Secepat mungkin Inspektur Jenderal hutan kayu seluruh Jawa – atau memerintah segenap bawahannya – untuk memeriksa semua hutan di pulau Jawa, membandingkan hasil pemeriksaan ini dengan peta yang sudah ada, agar dapat dilakukan pembetulan- pembetulan bilamana perlu (pasal 1) ; Dibawah pengawasannya, Inspektur Jenderal hutan kayu memerintahkan pembuatan peta dari daerah masing-masing, peta mana harus diambil turunan dari peta umum (pasal 2).

Menurut van Soest (G.H. van Soest. Het Boschwezen op Java. Tijds. V. Ned. Indie 1869 3e jg. Dl. II blz. 463) dalam tahun 1869 dibuat keputusan untuk mengukur dan memetakan semua hutan jati di Jawa. Untuk keperluan ini pada awal tahun 1860 dibentuk suatu panitia, yang awalnya dengan susah payah menunaikan tugasnya karena ketiadaan data pendukung.
Dalam tahun 1871 panitia ini dapat menyelesaikan tugasnya berupa hasil pemetaan kawasan hutan jati di Jawa dengan skala 1:10.000; 1:25.000 dan 1:100.000. Meskipun peta-peta ini belum akurat betul, tetapi cukup memadai untuk tujuan pengelolaan hutan jati masa itu.
Pada pengukuran hutan jati terutama dilakukan hanya dalam kelompok hutan besar yang mudah didatangi, atau kelompok hutan jati di sepanjang tepian sungai yang cukup tersedia sarana transportasinya.

Menurut panitia ini, luas global hutan jati di seluruh Jawa terdapat lebih kurang seluas 6.000 kilometer persegi (Km2) atau setara 600.000 hektare. Adapun sebarannya meliputi sejumlah daerah : Krawang (14,5 Km2; tidak termasuk kawasan milik partikelir); Priangan (128 Km2); Cirebon (126 Km2); Tegal (84 Km2); Pekalongan (68 Km2); Semarang (875 Km2); Jepara (225 Km2); Rembang (2845 Km2); Surabaya (334 Km2); Madura (tidak diukur); Pasuruan (26 Km2); Probolinggo (44 Km2); Besuki (15 Km2); Banyuwangi (tidak diukur); Surakarta (sebagian diukur: dibagian Kesunanan 330 Km2 data 1869); Yogyakarta (tidak diukur); Madiun (920 Km2); dan Kediri (260 Km2). *** SJA/ Infojati.