Menu Atas

 


SJ. Adam
Selasa, 31 Maret 2015, 01.56.00 WIB
Last Updated 2015-03-31T08:56:22Z
Story - Forest - Utilization

Tak berharap jadi pegawai tetap karena porang

Advertisement

Mandor Polter RPH Turi, Subur:
PERNAH NYALON KADES BERKAT JUAL PORANG

Subur sudah berumur 51 tahun kini. Dalam usia setua itu, pria yang bekerja di Perhutani sejak tahun 2000 ini tidak terlalu berharap untuk ikut diangkat jadi pegawai tetap. Tampaknya ia cukup puas dari bisnis sampingannya selaku pengepul sekaligus petani porang.
Berkat uang porang juga Subur pernah berani maju nyalon Kepala Desa (Kades) meskipun kemudian kalah alias gagal terpilih. Tentu untuk itu ia telah keluar biaya lumayan besar.
Mengaku sudah 3 tahun jadi pengepul umbi porang selain bertanam porang sendiri. "Saya ambil Rp4000 per kg umbi basah lalu jual lagi Rp 4200 langsung timbang di lokasi," katanya.
Kadang-kadang juga tinggal ambil di lokasi yang ditentukan pemilik porang, hasil umbi yang sudah terkumpul.
Subur tinggal di dusun Bendosewu. Awal dirinya jadi pedagang porang gegara ada pengepul besar yang minta tolong dicarikan umbi porang pada tahun 2012 bulan Juli. "Hasilnya lumayan banyak untuk ukuran ekonomi saya. Tinggal mengalikan dengan jumlah ton umbinya saja. Nilai uangnya lebih besar dari gaji sebagai mandor tentu saja," ujarnya.
Sebagai pengepul porang, dalam satu tahun cukup bekerja antara bulan Juni dan Juli. Sekarang dia juga punya delapan lokasi tanaman porang sendiri. Total luasnya 3 hektar. Tapi yang tiga lokasi belum panen, karena baru ditanam.
"Mungkin dua tahun lagi baru bisa dipanen. Kalau yang di lahan ini saya sudah dapat 70 kilogram butiran katak," katanya saat wawancara di salah satu lokasi tanaman porangnya di Tritik seluas 200 meter persegi.
Rencananya bulan Juni 2015 ini akan dipanen umbinya. Lokasi porangnya yang lain, seluas 1 ha ada di RPH Bendosewu petak hutan nomor 240 dan 0,25 hektar di Kedungrejo. Dua tempat itu sudah 4 kali pernah panen umbi.
Tiap panen dapat sekitar 4 ton. Pernah pula dapat 16 juta dalam sekali panen. "Kalau yang dari sini nanti bisa dapat 3 ton sama yang sana 4 ton kan ada 7 ton kali harga umbi per kilogramnya," katanya dengan senyum malu-malu.
Pertamakali buka lahan untuk tanam porang dia habiskan 12 juta. "Panen pertamakali dulu hasilnya belum balik modal, karena harga umbi saat itu hanya Rp3500 per kilogram," katanya.
Sekarang sudah puluhan mandor rekawan sejawatnya yang ikut berbudidaya porang di lahan sela hutan jati yang juga jadi kawasan tugasnya ini. Subur adalah pelopornya. "Awalnya dulu saya disarankan oleh besan, warga Bendosewu, yang lebih dulu tanam porang," katanya.
Tapi sebelum itu, dia juga sudah pernah dapat saran serupa dari seorang teman yang mantan Kepala Desa. "Tanam porang saja. Gampang ngurusnya dan lumayan hasilnya," begitu kira-kira kata si mantan Kades. (SJTE 150331 Sel)