Menu Atas

 


SJ. Adam
Selasa, 31 Maret 2015, 02.05.00 WIB
Last Updated 2015-04-01T10:50:13Z
Story - Forest - Utilization

Bertekad beli mobil sejenis kendaraan dinas Administratur

Advertisement

Rianto, warga MDH Bendoasri, Nganjuk:
BERTEKAD BELI MOBIL SERUPA KENDARAAN DINAS ADMINISTRATUR NGANJUK

Rianto adalah salah satu warga masyarakat desa hutan (MDH) dusun Bendoasri yang ikut menikmati booming ekonomi hasil tanam porang di kawasan hutan jati KPH Nganjuk. Dengan uang tabungannya yang terkumpul dari penjualan porang bertahun-tahun itu, dirinya bertekad memiliki kendaraan serupa mobil dinas Administratur Perhutani Nganjuk (Toyota Hi-Lux Double Cab).
"Aminn," katanya mengiyakan rencana mulianya itu saat diwawancarai di rumahnya, di desa yang merupakan enclave yang di kelilingi kawasan hutan itu.
Keinginannya itu bukan semata dorongan ego emosional belaka, karena sosok pria yang juga bergelar Sarjana Pendidikan (Spd) dan juga seorang guru di SD Negeri 02 Bendoasri ini sudah mendahulukan kepentingan keluarganya, dengan membiayai salah satu anaknya yang kuliah di Malaysia 
Alkisah, pada tahun 1986, bujangan Rianto yang baru tamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) itu mulai bersentuhan dengan nilai ekonomi porang.
"Waktu itu selaku pengurus organisasi Karangtaruna mau beli bola tak ada uang. Lalu coba gali dana lewat porang," ucapnya mengenang awal kenal porang.
Masa itu warga desanya sudah biasa jual umbi porang dari tanaman alamiah di hutan dekat desa Bendoasri.
Kemudian masyarakat desanya pun mulai berpikir membudidayakannya.
"Saat itu bahkan pihak Perhutani sendiri belum tahu ihwal potensi ekonomi porang," ungkapnya.
Tahun 2004 umbi porang kian menunjukkan potensi nilai ekonominya ketika harga per kilogram umbinya mencapai Rp1000 per kilogram.
"Tahun 1986 harga per kilonya masih Rp50, panen pertama saya dapat 1 ton1 kuintal umbi. Lalu terjual sehingga dapat Rp55 ribu," katanya.
Harga bola volley yang dibutuhkan pemuda Karangtaruna yang dipimpinnya adalah Rp10 ribu, sehingga cukup untuk beli 5 butir bola.
Tanaman porang rintisannya untuk kas organisasi Karangtaruna yang mulai tanam 1986 dan baru panen dua tahun kemudian (1988) berada di petak hutan nomor 237 RPH Bendosewu.
Masyarakat pun ikut terinspirasi dan mulai menanam porang sampai sekarang. Seingatnya, waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dulu pun pernah diajak orangtuanya jual umbi porang kepada seorang pengepul di desa Bagor, Nganjuk, bernama Pak Jang, keturunan Tiongkok.
"Itu sosok pengepul porang dan empon-empon pertama di daerah ini. Sekarang usahanya masih dilanjutkan keturunannya," ungkap Rianto.
Dusun Bendoasri dulu bernama Bendosewu dan berinduk Desa Tritik.
Tahun 2004 Rianto sudah dapat panenan sampai 10 ton umbi porang di lahan yang dikelolanya.
Dirinya menikah pada tahun 1990. "Namun bukan berarti resepsi pernikahannya dibiayai hasil panen porang, karena waktu itu porangnya masih budidaya bersama kelompok Karangtaruna," ujarnya.
Baru pada 1995 ia mulai membudidayakan tanaman pirang untuk diri dan keluarga  sendiri.
Meskipun sudah mengelola lahan porang sendiri-sendiri, warga sedesanya sampai sekarang masih merawat lahan porang untuk keperluan Karangtaruna tersebut.
Sejak 2004, dari lahan porangnya yang kini seluas 5 hektar, rerata per tahun dapat memanen 20 ton.
Pada tahun 2010 umbi porang kembali mencatat harga bagus, yakni Rp2000 per kilogram.
"Berlanjut tahun 2014 kemarin yang harganya mencapai Rp4500 per kilogram," katanya. (SJTE 150331 Sel)