Advertisement
History - Teak wood - Utilization
Sejak tahun 1950 Dinas Kereta Api [DKA] mulai mengganti lokomotif bertenaga uap dengan tenaga diesel; sehingga memasuki tahun 1970 loko uap mulai masuk era barang antik seiring tidak lagi diproduksi oleh pembuatnya di Eropa.
Gubernur propinsi Jawa Tengah bekerjasama Perusahaan Jawatan Kereta Api [PJKA] di daerahnya berinisiatif mengumpulkan loko uap dan menyimpannya di Stasiun Kereta Api Ambarawa – yang dalam era kolonial dikenal dengan sebutan Stasiun Willem II.
Pada akhir tahun 1976, sejumlah 21 lokomotif uap menjadi koleksi museum ini; dengan satu diantaranya – dinilai paling bersejarah perjuangan republik Indonesia – ditempatkan di Monumen Palagan [penanda kepahlawanan perjuangan]; Stasiun Ambarawa resmi berfungsi museum sejak tanggal 21 april 1978.
Koleksi locomotif tertua adalah buatan tahun 1891 [C.1140]; terbaru [CC.5029: dibuat tahun 1928]; lokomotif paling lambat [B2014: kecepatan max 35 km/jam]; loko tercepat [C2821: 90km/jam]; paling ringan [B.2014: 17,1 ton]; terberat [CC.5029: 113 ton]; terpendek [B.2014: 5,790 m]; terpanjang [CC5029: 19,902 m]; paling lemah [B.2014: 200 tenaga kuda]; dan yang paling kuat [CC5029: 1190 tenaga kuda];
Selain sejumlah lokomotif uap tersebut, masih ada lima unit lainnya di Depo Stasiun – tiga diantaranya yaitu B2502; B2503 dan E1060 yang masih bisa dioperasikan; juga lima gerbong penumpang dan satu kereta barang.
Ambarawa - kota kecil berhawa sejuk dan pemandangan indah – memiliki makna penting di masa kolonialisme: lembah di tanah tinggi dikelilingi pegunungan ini adalah salah satu pusat militer [terdapat benteng pertahanan Willem I] pemerintahan Hindia Belanda.
[P04J09 – SJTE]
Sejak tahun 1950 Dinas Kereta Api [DKA] mulai mengganti lokomotif bertenaga uap dengan tenaga diesel; sehingga memasuki tahun 1970 loko uap mulai masuk era barang antik seiring tidak lagi diproduksi oleh pembuatnya di Eropa.
Gubernur propinsi Jawa Tengah bekerjasama Perusahaan Jawatan Kereta Api [PJKA] di daerahnya berinisiatif mengumpulkan loko uap dan menyimpannya di Stasiun Kereta Api Ambarawa – yang dalam era kolonial dikenal dengan sebutan Stasiun Willem II.
Pada akhir tahun 1976, sejumlah 21 lokomotif uap menjadi koleksi museum ini; dengan satu diantaranya – dinilai paling bersejarah perjuangan republik Indonesia – ditempatkan di Monumen Palagan [penanda kepahlawanan perjuangan]; Stasiun Ambarawa resmi berfungsi museum sejak tanggal 21 april 1978.
Koleksi locomotif tertua adalah buatan tahun 1891 [C.1140]; terbaru [CC.5029: dibuat tahun 1928]; lokomotif paling lambat [B2014: kecepatan max 35 km/jam]; loko tercepat [C2821: 90km/jam]; paling ringan [B.2014: 17,1 ton]; terberat [CC.5029: 113 ton]; terpendek [B.2014: 5,790 m]; terpanjang [CC5029: 19,902 m]; paling lemah [B.2014: 200 tenaga kuda]; dan yang paling kuat [CC5029: 1190 tenaga kuda];
Selain sejumlah lokomotif uap tersebut, masih ada lima unit lainnya di Depo Stasiun – tiga diantaranya yaitu B2502; B2503 dan E1060 yang masih bisa dioperasikan; juga lima gerbong penumpang dan satu kereta barang.
Ambarawa - kota kecil berhawa sejuk dan pemandangan indah – memiliki makna penting di masa kolonialisme: lembah di tanah tinggi dikelilingi pegunungan ini adalah salah satu pusat militer [terdapat benteng pertahanan Willem I] pemerintahan Hindia Belanda.
[P04J09 – SJTE]