Advertisement
Oleh Purbayu Budi Santosa *)
Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban dalam pertemuan dengan pengasuh pondok pesantren se-Jateng di Bandungan, menyatakan kerusakan hutan di tanah air saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Tingkat kerusakan hutan mengalami peningkatan dari 1,8 juta hektar per tahun pada masa Orde Baru, sekarang mencapai 2,8 juta hektar per tahun (Wawasan, 14 Januari 2008)
Multatuli menjuluki negara Indonesia sebagai jambrut khatulistiwa, salah satunya disebabkan kekayaan hutannya dengan segala pernak-pernik yang terkandung di dalamnya. Tetapi apa daya, sekarang ini hutan yang dimiliki Indonesia seperti dinyatakan oleh Menhut telah mengalami kerusakan yang parah. Ibu pertiwi sekarang sedang bersedih, karena bisa jadi apa yang dijuluki oleh Multatuli, nantinya kalau tidak hati-hati bisa tinggal kenangan.
Membicarakan masalah hutan sekarang ini rasa-rasanya diselimuti oleh rasa pesimisme. Kasus perubahan pengelolaan hutan menjadi tanaman industri yang tidak mengikuti peraturan yang semestinya, pengelolaan hutan produksi yang tidak diikuti usaha penanaman kembali, perusakan taman nasional dan hutan lindung, kebakaran hutan maupun pembalakan liar yang sebenarnya telah lama dilakukan dan mengalami kenaikan akhir-akhir ini searah dengan terbukanya keran demokrasi, maka masa depan kehutanan makin diragukan.
Para pakar lingkungan hidup bahkan telah menjatuhkan hukuman mati bagi hutan (Barber et al, 1999). Sekurang-kurangnya 15 juta hektar hutan tropis lenyap setiap tahunnya, menghilangkan spesies tumbuhan , binatang maupun penduduk asli dan menjadikan dunia tempat yang lebih miskin baik secara hayati maupun secara budaya. Nasib hutan wilayah beriklim sedang dan hutan runjung seperti yang terdapat di negara bagian Amerika Serikat di pantai Pasifik Barat laut dengan alasan yang berbeda dengan perusakan hutan tropis juga mengalami kerusakan yang serupa. Bahkan perlu dicatat, bahwa kurang lebih separo hutan dunia terletak di wilayah beriklim sedang, hampir seperempatnya berada di bekas Uni Sovyet dan hampir seperlimanya berada di Amerika Utara.
Pesimis
Searah dengan mengedepannya abad pencerahan, di mana perkembangan ilmu cenderung mengarah kepada positivisme, maka yang dipentingkan adalah hal yang tampak, hal yang materiil sifatnya, sedangkan hal yang imaterial begitu tersisihkan. Keberhasilan seseorang bahkan negara lebih dilihat kepada pencapaian materi yang tinggi, yang terkadang kurang melihat kepada proses perolehannya.
Dilihat kepada ukuran ekonomi di mana kenaikan pendapatan merupakan indikator kemajuan. Negara dikatakan maju kalau pendapatan nasionalnya tinggi, yang secara indikator ekonomi akan tercermin juga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Suatu usaha kehutanan sudah pasti dilihat kepada sumbangannya kepada pendapatan nasional. Dari tiga pendekatan pendapatan nasional yang ada, dapat dilihat bagaimana sumbangannya untuk produksi, pendapatan maupun untuk pengeluaran.
Kalau dilihat dalam konsep pendapatan nasional, berbagai tindakan perusakan hutan yang sebenarnya melanggar ketentuan hukum yang ada, tentunya akan menurunkan besaran angkanya, yang pada akhirnya akan memerosotkan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi kalau wacana pendapatan nasional hijau yang dikemukakan, di mana kerusakan lingkungan ikut dipertimbangkan, maka besaran angkanya akan meluncur tajam, yang dapat mencoreng-moreng kinerja pembangunan ekonomi.
Sekiranya realitas yang ditemukan seperti tersebut, sebenarnya seolah-olah terjadii pertentangan antara pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan, salah satunya mengemuka dalam kerusakan hutan. Pesimisme masa depan pembangunan dapat menggejala kuat, karena kenaikan kesejahteraan yang diukur dengan naiknya pendapatan sewaktu-waktu dapat terkeroposi oleh bahaya kehancuran ekologi, seperti banjir, polusi dan makin naiknya suhu udara.
Optimisme
Guna merengkuh masa depan yang lebih dipenuhi optimisme, maka dari pengertian dasar pembangunan, tentunya bukan hanya kenaikan pendapatan saja yang akan dituju, akan tetapi kelestarian lingkungan tidak bisa ditawar lagi menduduki porsi yang sejajar dan searah. Kelestarian hutan sebagai salah satu pertanda kuat kelestarian lingkungan haruslah menjadi prioritas utama dan harus merupakan suatu keniscayaan.
Hutan dan kawasan hutan sudah sewajarnya dipercaya memiliki manfaat yang jauh lebih besar daripada nilai ekonomi yang secara langsung mudah diperoleh dari pemanfaatan kayu-kayunya belaka. Keberadaan hutan dan kawasannya yang lestari merupakan jaminan bagi keseimbangan ekosistem, penyeimbang kelangsungan proses hidro-ekologis (perimbangan tata air) sebagai faktor utama penunjang siklus klimatologis, keadaan perubahan musim dan cuaca yang ramah dan dapat diperkirakan, yang merupakan pokok kelangsungan peradaban manusia.
Guna mencapai tujuan terjadinya hutan yang lestari di masa depan tentunya memerlukan kerja keras dari kita semua. Negara maju yang hutannya banyak yang rusak duluan karena keberhasilan pembangunan ekonomi berjalan di depan negara sedang berkembang, harus tetap memperbaiki kondisi hutannya yang telah rusak. Negara maju tidak bisa hanya menyalahkan negara lain, terutama negara tropis yang terus menerus dituduh merusak hutannya, sementara dia sendiri enak-enak membangun ekonominya kurang memperhatikan kelestarian hutannya.
Kerjasama saling pengertian antara negara maju dan negara sedang berkembang perlu lebih ditingkatkan untuk tetap menjaga kelestarian planet dunia dan lingkungannya, seperti telah diamanatkan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB yang diselenggarakan di Bali tanggal 3- 14 Desember 2007. Bantuan donor kiranya dapat diberikan kepada negara sedang berkembang yang terkenal dengan hutan tropisnya dan merupakan paru-paru dunia. Bantuan tersebut semestinya diberikan dengan tanpa mempertimbangkan aspek politis, sosial dan hukum, karena negara maju sama-sama mempunyai kepentingan untuk kelangsungan kehidupan kita bersama di masa depan.
Manajemen hutan lestari harus dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Berbagai kriteria pembagian hutan dan peruntukkannya harus ditepati, seperti kawasan suaka alam dan perairan, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Keberhasilan manajemen hutan lestari harus mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan yang dapat ditetapkan. Beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambill diantaranya merevitalisasi perusahaan kehutanan, melanjutkan pendekatan kesejahteraan yang misalnya dapat dicapai dengan PHBM (Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat), memodifikasi tugas pengamanan kawasan hutan dengan mengikutkan seluruh stakeholders bidang keamanan maupun perbaikan kinerja dan kualitas komunikasi publik.
Keberadaan hutan di masa depan tidaklah mesti dipenuhi oleh rasa pesimisme, asall hukum ditegakkan dan kemauan politis dari pihak yang berkepentingan harus mendapat prioritas utama, maka kelestarian hutan adalah dapat merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian kerusakan hutan di berbagai daerah perlu segera dihentikan dan dilakukan langkah reboisasi, sedangkan para pelaku pengrusakkan tanpa pandang bulu dilakukan pemrosesan sesuai hukum yang berlaku. [Artikel 01-SJTE]
*) Dr. Purbayu Budi Santoso adalah dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi – Universitas Diponegoro, Semarang
Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban dalam pertemuan dengan pengasuh pondok pesantren se-Jateng di Bandungan, menyatakan kerusakan hutan di tanah air saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Tingkat kerusakan hutan mengalami peningkatan dari 1,8 juta hektar per tahun pada masa Orde Baru, sekarang mencapai 2,8 juta hektar per tahun (Wawasan, 14 Januari 2008)
Multatuli menjuluki negara Indonesia sebagai jambrut khatulistiwa, salah satunya disebabkan kekayaan hutannya dengan segala pernak-pernik yang terkandung di dalamnya. Tetapi apa daya, sekarang ini hutan yang dimiliki Indonesia seperti dinyatakan oleh Menhut telah mengalami kerusakan yang parah. Ibu pertiwi sekarang sedang bersedih, karena bisa jadi apa yang dijuluki oleh Multatuli, nantinya kalau tidak hati-hati bisa tinggal kenangan.
Membicarakan masalah hutan sekarang ini rasa-rasanya diselimuti oleh rasa pesimisme. Kasus perubahan pengelolaan hutan menjadi tanaman industri yang tidak mengikuti peraturan yang semestinya, pengelolaan hutan produksi yang tidak diikuti usaha penanaman kembali, perusakan taman nasional dan hutan lindung, kebakaran hutan maupun pembalakan liar yang sebenarnya telah lama dilakukan dan mengalami kenaikan akhir-akhir ini searah dengan terbukanya keran demokrasi, maka masa depan kehutanan makin diragukan.
Para pakar lingkungan hidup bahkan telah menjatuhkan hukuman mati bagi hutan (Barber et al, 1999). Sekurang-kurangnya 15 juta hektar hutan tropis lenyap setiap tahunnya, menghilangkan spesies tumbuhan , binatang maupun penduduk asli dan menjadikan dunia tempat yang lebih miskin baik secara hayati maupun secara budaya. Nasib hutan wilayah beriklim sedang dan hutan runjung seperti yang terdapat di negara bagian Amerika Serikat di pantai Pasifik Barat laut dengan alasan yang berbeda dengan perusakan hutan tropis juga mengalami kerusakan yang serupa. Bahkan perlu dicatat, bahwa kurang lebih separo hutan dunia terletak di wilayah beriklim sedang, hampir seperempatnya berada di bekas Uni Sovyet dan hampir seperlimanya berada di Amerika Utara.
Pesimis
Searah dengan mengedepannya abad pencerahan, di mana perkembangan ilmu cenderung mengarah kepada positivisme, maka yang dipentingkan adalah hal yang tampak, hal yang materiil sifatnya, sedangkan hal yang imaterial begitu tersisihkan. Keberhasilan seseorang bahkan negara lebih dilihat kepada pencapaian materi yang tinggi, yang terkadang kurang melihat kepada proses perolehannya.
Dilihat kepada ukuran ekonomi di mana kenaikan pendapatan merupakan indikator kemajuan. Negara dikatakan maju kalau pendapatan nasionalnya tinggi, yang secara indikator ekonomi akan tercermin juga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Suatu usaha kehutanan sudah pasti dilihat kepada sumbangannya kepada pendapatan nasional. Dari tiga pendekatan pendapatan nasional yang ada, dapat dilihat bagaimana sumbangannya untuk produksi, pendapatan maupun untuk pengeluaran.
Kalau dilihat dalam konsep pendapatan nasional, berbagai tindakan perusakan hutan yang sebenarnya melanggar ketentuan hukum yang ada, tentunya akan menurunkan besaran angkanya, yang pada akhirnya akan memerosotkan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi kalau wacana pendapatan nasional hijau yang dikemukakan, di mana kerusakan lingkungan ikut dipertimbangkan, maka besaran angkanya akan meluncur tajam, yang dapat mencoreng-moreng kinerja pembangunan ekonomi.
Sekiranya realitas yang ditemukan seperti tersebut, sebenarnya seolah-olah terjadii pertentangan antara pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan, salah satunya mengemuka dalam kerusakan hutan. Pesimisme masa depan pembangunan dapat menggejala kuat, karena kenaikan kesejahteraan yang diukur dengan naiknya pendapatan sewaktu-waktu dapat terkeroposi oleh bahaya kehancuran ekologi, seperti banjir, polusi dan makin naiknya suhu udara.
Optimisme
Guna merengkuh masa depan yang lebih dipenuhi optimisme, maka dari pengertian dasar pembangunan, tentunya bukan hanya kenaikan pendapatan saja yang akan dituju, akan tetapi kelestarian lingkungan tidak bisa ditawar lagi menduduki porsi yang sejajar dan searah. Kelestarian hutan sebagai salah satu pertanda kuat kelestarian lingkungan haruslah menjadi prioritas utama dan harus merupakan suatu keniscayaan.
Hutan dan kawasan hutan sudah sewajarnya dipercaya memiliki manfaat yang jauh lebih besar daripada nilai ekonomi yang secara langsung mudah diperoleh dari pemanfaatan kayu-kayunya belaka. Keberadaan hutan dan kawasannya yang lestari merupakan jaminan bagi keseimbangan ekosistem, penyeimbang kelangsungan proses hidro-ekologis (perimbangan tata air) sebagai faktor utama penunjang siklus klimatologis, keadaan perubahan musim dan cuaca yang ramah dan dapat diperkirakan, yang merupakan pokok kelangsungan peradaban manusia.
Guna mencapai tujuan terjadinya hutan yang lestari di masa depan tentunya memerlukan kerja keras dari kita semua. Negara maju yang hutannya banyak yang rusak duluan karena keberhasilan pembangunan ekonomi berjalan di depan negara sedang berkembang, harus tetap memperbaiki kondisi hutannya yang telah rusak. Negara maju tidak bisa hanya menyalahkan negara lain, terutama negara tropis yang terus menerus dituduh merusak hutannya, sementara dia sendiri enak-enak membangun ekonominya kurang memperhatikan kelestarian hutannya.
Kerjasama saling pengertian antara negara maju dan negara sedang berkembang perlu lebih ditingkatkan untuk tetap menjaga kelestarian planet dunia dan lingkungannya, seperti telah diamanatkan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB yang diselenggarakan di Bali tanggal 3- 14 Desember 2007. Bantuan donor kiranya dapat diberikan kepada negara sedang berkembang yang terkenal dengan hutan tropisnya dan merupakan paru-paru dunia. Bantuan tersebut semestinya diberikan dengan tanpa mempertimbangkan aspek politis, sosial dan hukum, karena negara maju sama-sama mempunyai kepentingan untuk kelangsungan kehidupan kita bersama di masa depan.
Manajemen hutan lestari harus dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Berbagai kriteria pembagian hutan dan peruntukkannya harus ditepati, seperti kawasan suaka alam dan perairan, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Keberhasilan manajemen hutan lestari harus mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan yang dapat ditetapkan. Beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambill diantaranya merevitalisasi perusahaan kehutanan, melanjutkan pendekatan kesejahteraan yang misalnya dapat dicapai dengan PHBM (Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat), memodifikasi tugas pengamanan kawasan hutan dengan mengikutkan seluruh stakeholders bidang keamanan maupun perbaikan kinerja dan kualitas komunikasi publik.
Keberadaan hutan di masa depan tidaklah mesti dipenuhi oleh rasa pesimisme, asall hukum ditegakkan dan kemauan politis dari pihak yang berkepentingan harus mendapat prioritas utama, maka kelestarian hutan adalah dapat merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian kerusakan hutan di berbagai daerah perlu segera dihentikan dan dilakukan langkah reboisasi, sedangkan para pelaku pengrusakkan tanpa pandang bulu dilakukan pemrosesan sesuai hukum yang berlaku. [Artikel 01-SJTE]
*) Dr. Purbayu Budi Santoso adalah dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi – Universitas Diponegoro, Semarang