Advertisement
Story – Teak forest - Forester
Manfaat lain dengan tidak menggunakan teknik teresan, seperti dikemukakan Soewarno (2004, Administratur Perhutani Nganjuk), adalah dapat meniadakan pembatasan kegiatan tebangan produksi kayu jati.
Namun saat ini, pihak Departemen Kehutanan terlanjur menerbitkan aturan pembatasan jumlah tebangan jati, seperti tertuang dalam agenda kuota JPT - Jatah Produksi Tebangan.
Penjelasannya adalah, penebangan pohon jati tanpa teknik teresan maka dapat diharapkan pertumbuhan tunas-tunas baru untuk dengan cepat menggantikan areal hutan yang sudah ditebang.
Karena tidak lagi harus melalui fase awal penanaman yang menimbulkan kesan terjadinya penambahan areal tanah kosong.
“Bukankah, JPT diberlakukan oleh tuntutan untuk mengurangi kejadian tanah kosong yang baru. Nah, melalui penumbuhan tunas-tunas baru dari pohon yang ditebang tanpa teresan, kemungkinan timbulnya penambahan tanah kosong dapat dicegah,” kata Soewarno.
Munculnya peraturan yang membatasi jumlah produksi kayu jati karena pihak Departemen Kehutanan melihat banyak tanaman hutan yang kemudian gagal ditumbuhkan oleh Perum Perhutani.
Menurut dia, dengan upaya penumbuhan tunas tanaman jati di lokasi tebang yang dilakukan tanpa teresan maka ketakutan seperti itu dapat dikurangi.
Berhubungan dengan fanatisme konsumen yang menginginkan mutu klasik kayu jati yang melalui proses tebang teresan (teknik pengeringan alami), ia menjelaskan kalau khusus untuk itu dapat dialokasikan dalam jumlah tertentu saja.
Namun untuk melayani kebutuhan dimaksud, pihak Perhutani harus tetap berpedoman sebagai sebuah perusahaan yang dituntut agar selalu dapat membuahkan profit margin (keuntungan) maksimal.
“Kalau memang ada kelompok konsumen yang fanatik kayu jati dari proses teresan maka nilai jualnya pun harus dihitung lebih mahal dari standar harga pada umumnya,” katanya.
Ia menegaskan, apalah artinya memenuhi selera sebagian konsumen yang menghendaki kualitas klasik kayu jati kalau mereka tidak bersedia memberikan nilai lebih bagi Perhutani selaku perusahaan.
“Mungkin saja ada sementara orang yang menempatkan nilai seni pada kualitas kayu jati hasil teresan, tapi mereka juga harus bersedia membayar lebih,” ungkapnya.
Dikatakan, untuk memenuhi tuntutan selera konsumen seperti itu, Perhutani memiliki cadangan kayu yang dapat dialokasikan di kawasan hutan jati yang tersebar tumbuh di banyak lokasi dengan sifat geografis yang memang kering.
“Jadi, penetapan harga jual kayu jati dengan kualitas tersebut harus meliputi komponen biaya teresan, penjagaan keamanannya dan faktor biaya akibat hilangnya peluang pembesaran lingkar batang pohon (riap),” ia merinci.
Asumsi nilai jual kayunya nanti bisa saja kalau jati basah berharga Rp4 juta maka khusus untuk jati kering bisa bernilai antara lima juta rupiah sampai enam juta rupiah dalam ukuran sortimen yang sama.
Memang, katanya lagi, saat ini ada sementara pihak yang beranggapan bahwa untuk tanaman trubusan setelah dua puluh tahun akan growong (berlubang) di dalam batangnya.
“Maka, untuk pohon trubusan seperti itu mulai umur 10 tahun harus sudah ditebang. Maksimal akan dapat mencapai usia tumbuh 20 tahun, supaya tidak sampai berlubang,” ungkapnya menerangkan.
Dia percaya, jika ‘cara baru’ semacam itu (memanfaatkan trubusan) serentak dilaksanakan, maka dapat tercipta suatu kawasan hutan yang lestari, menghasilkan jumlah besar kayu sehingga dapat dihasilkan harga kayu yang cukup murah daripada sekarang ini.
Oleh karena itu, ke depan perlu direncanakan penggolongan kawasan hutan produksi jati dengan dua pokok kriteria. Yaitu, kategori daerah inti, yang tetap berpegang pada metode klasik penanaman yang berdaur (siklus tumbuh) sampai seratus tahun, dan daerah penyangga yang dialokasikan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kayu jati untuk jumlah besar. (P08J01.2 – SJTE)Silakan lihat fotonya di http://sjte.blogspot.com
Manfaat lain dengan tidak menggunakan teknik teresan, seperti dikemukakan Soewarno (2004, Administratur Perhutani Nganjuk), adalah dapat meniadakan pembatasan kegiatan tebangan produksi kayu jati.
Namun saat ini, pihak Departemen Kehutanan terlanjur menerbitkan aturan pembatasan jumlah tebangan jati, seperti tertuang dalam agenda kuota JPT - Jatah Produksi Tebangan.
Penjelasannya adalah, penebangan pohon jati tanpa teknik teresan maka dapat diharapkan pertumbuhan tunas-tunas baru untuk dengan cepat menggantikan areal hutan yang sudah ditebang.
Karena tidak lagi harus melalui fase awal penanaman yang menimbulkan kesan terjadinya penambahan areal tanah kosong.
“Bukankah, JPT diberlakukan oleh tuntutan untuk mengurangi kejadian tanah kosong yang baru. Nah, melalui penumbuhan tunas-tunas baru dari pohon yang ditebang tanpa teresan, kemungkinan timbulnya penambahan tanah kosong dapat dicegah,” kata Soewarno.
Munculnya peraturan yang membatasi jumlah produksi kayu jati karena pihak Departemen Kehutanan melihat banyak tanaman hutan yang kemudian gagal ditumbuhkan oleh Perum Perhutani.
Menurut dia, dengan upaya penumbuhan tunas tanaman jati di lokasi tebang yang dilakukan tanpa teresan maka ketakutan seperti itu dapat dikurangi.
Berhubungan dengan fanatisme konsumen yang menginginkan mutu klasik kayu jati yang melalui proses tebang teresan (teknik pengeringan alami), ia menjelaskan kalau khusus untuk itu dapat dialokasikan dalam jumlah tertentu saja.
Namun untuk melayani kebutuhan dimaksud, pihak Perhutani harus tetap berpedoman sebagai sebuah perusahaan yang dituntut agar selalu dapat membuahkan profit margin (keuntungan) maksimal.
“Kalau memang ada kelompok konsumen yang fanatik kayu jati dari proses teresan maka nilai jualnya pun harus dihitung lebih mahal dari standar harga pada umumnya,” katanya.
Ia menegaskan, apalah artinya memenuhi selera sebagian konsumen yang menghendaki kualitas klasik kayu jati kalau mereka tidak bersedia memberikan nilai lebih bagi Perhutani selaku perusahaan.
“Mungkin saja ada sementara orang yang menempatkan nilai seni pada kualitas kayu jati hasil teresan, tapi mereka juga harus bersedia membayar lebih,” ungkapnya.
Dikatakan, untuk memenuhi tuntutan selera konsumen seperti itu, Perhutani memiliki cadangan kayu yang dapat dialokasikan di kawasan hutan jati yang tersebar tumbuh di banyak lokasi dengan sifat geografis yang memang kering.
“Jadi, penetapan harga jual kayu jati dengan kualitas tersebut harus meliputi komponen biaya teresan, penjagaan keamanannya dan faktor biaya akibat hilangnya peluang pembesaran lingkar batang pohon (riap),” ia merinci.
Asumsi nilai jual kayunya nanti bisa saja kalau jati basah berharga Rp4 juta maka khusus untuk jati kering bisa bernilai antara lima juta rupiah sampai enam juta rupiah dalam ukuran sortimen yang sama.
Memang, katanya lagi, saat ini ada sementara pihak yang beranggapan bahwa untuk tanaman trubusan setelah dua puluh tahun akan growong (berlubang) di dalam batangnya.
“Maka, untuk pohon trubusan seperti itu mulai umur 10 tahun harus sudah ditebang. Maksimal akan dapat mencapai usia tumbuh 20 tahun, supaya tidak sampai berlubang,” ungkapnya menerangkan.
Dia percaya, jika ‘cara baru’ semacam itu (memanfaatkan trubusan) serentak dilaksanakan, maka dapat tercipta suatu kawasan hutan yang lestari, menghasilkan jumlah besar kayu sehingga dapat dihasilkan harga kayu yang cukup murah daripada sekarang ini.
Oleh karena itu, ke depan perlu direncanakan penggolongan kawasan hutan produksi jati dengan dua pokok kriteria. Yaitu, kategori daerah inti, yang tetap berpegang pada metode klasik penanaman yang berdaur (siklus tumbuh) sampai seratus tahun, dan daerah penyangga yang dialokasikan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kayu jati untuk jumlah besar. (P08J01.2 – SJTE)Silakan lihat fotonya di http://sjte.blogspot.com