Advertisement
Story – Teak forest – Forester
Kemajuan budidaya tanaman jati di pulau Jawa pada akhir abad 19 menghasilkan teknik “teresan”, yaitu mematikan pohon jati di tempat tumbuhnya selama dua tahun menjelang ditebang.
Cara ini mengandalkan sengatan sinar matahari tropis untuk dapat mengurangi kadar air batang kayu sampai tingkat yang diinginkan.
Teknik seperti itu kemudian biasa digunakan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu jati bermutu prima.
Namun kemudian muncul pendapat kritis atas cara klasik itu, khususnya yang mempertanyakan ihwal efisiensi waktu proses berlangsung, seperti yang telah dikemukakan Ir.Soewarno (pada 2004 ia adalah Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk di Jawa Timur).
“Sekarang kan sudah ada teknologi mesin oven, maka dengan sendirinya dapat menjawab kebutuhan kontrol kadar air dalam batang kayu,” dia berkata kepada Sugayo Jawama Adam.
Menurut dia, untuk kondisi sekarang setidaknya ada tiga potensi rugi apabila terus dilakukan cara teresan menjelang pohon jati ditebang.
Pertama dari sisi biaya teres, kedua ongkos keamanan pohon selama proses teres (dalam waktu dua tahun) dan yang ketiga adalah terhentinya riap (perkembangan) diameter batang kayu selama dalam fase teresan.
Ia berkata, tanpa diteres nilai jual kayu bisa lebih besar.
Menurut dia, nilai jual kayu jati Perhutani saat ini dihitung berdasarkan volume dan kualitasnya, dengan kata lain tidak dinilai tingkat kadar kekeringannya.
“Jadi, buat apa bersusah payah jika antara kayu jati kering dan kayu jati basah harganya tidak berbeda,” katanya.
Ia mengerti, tempo dulu mungkin faktor kering dan basahnya batang kayu masih signifikan pengaruhnya dalam urusan pengangkutannya dari lokasi petak produksi (hutan) menuju pabrik pengolahan kayu.
Akan tetapi, sekarang dengan kondisi umumnya letak hutan Perhutani yang relatif dekat jalan raya dan didukung alat angkut moderen, tentunya faktor kesulitan transportasi tidak lagi seperti era dahulu.
Soal potensi rugi dari terhentinya pertumbuhan riap diameter batang kayu akibat dua tahun periode teresan, juga dirinci Soewarno.
Kalau tidak diteres, selama dua tahun akan ada pertumbuhan diameter batang kayu (riap). Katakan untuk satu tahun riapnya berkembang setengah centimeter saja, maka dalam dua tahun terjadi pemekaran satu centimeter per pohon.
“Jadi, kalau per pohon riapnya satu centimeter dikalikan sepuluh ribu pohon yang diteres misalnya, maka akan ada tambahan volume kayu sekian puluh meter kubik yang hilang percuma,” katanya.
Selanjutnya, kerugian dari pengeluaran ongkos teres, biaya mematikan pohon yang besarnya seribu rupiah per batang pohon. (P08J01.1 – SJTE)Foto Teresan bisa Anda lihat di http://sjte.blogspot.com
Soewarno berkata dari Nganjuk, Jawa Timur.
Kemajuan budidaya tanaman jati di pulau Jawa pada akhir abad 19 menghasilkan teknik “teresan”, yaitu mematikan pohon jati di tempat tumbuhnya selama dua tahun menjelang ditebang.
Cara ini mengandalkan sengatan sinar matahari tropis untuk dapat mengurangi kadar air batang kayu sampai tingkat yang diinginkan.
Teknik seperti itu kemudian biasa digunakan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu jati bermutu prima.
Namun kemudian muncul pendapat kritis atas cara klasik itu, khususnya yang mempertanyakan ihwal efisiensi waktu proses berlangsung, seperti yang telah dikemukakan Ir.Soewarno (pada 2004 ia adalah Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Nganjuk di Jawa Timur).
“Sekarang kan sudah ada teknologi mesin oven, maka dengan sendirinya dapat menjawab kebutuhan kontrol kadar air dalam batang kayu,” dia berkata kepada Sugayo Jawama Adam.
Menurut dia, untuk kondisi sekarang setidaknya ada tiga potensi rugi apabila terus dilakukan cara teresan menjelang pohon jati ditebang.
Pertama dari sisi biaya teres, kedua ongkos keamanan pohon selama proses teres (dalam waktu dua tahun) dan yang ketiga adalah terhentinya riap (perkembangan) diameter batang kayu selama dalam fase teresan.
Ia berkata, tanpa diteres nilai jual kayu bisa lebih besar.
Menurut dia, nilai jual kayu jati Perhutani saat ini dihitung berdasarkan volume dan kualitasnya, dengan kata lain tidak dinilai tingkat kadar kekeringannya.
“Jadi, buat apa bersusah payah jika antara kayu jati kering dan kayu jati basah harganya tidak berbeda,” katanya.
Ia mengerti, tempo dulu mungkin faktor kering dan basahnya batang kayu masih signifikan pengaruhnya dalam urusan pengangkutannya dari lokasi petak produksi (hutan) menuju pabrik pengolahan kayu.
Akan tetapi, sekarang dengan kondisi umumnya letak hutan Perhutani yang relatif dekat jalan raya dan didukung alat angkut moderen, tentunya faktor kesulitan transportasi tidak lagi seperti era dahulu.
Soal potensi rugi dari terhentinya pertumbuhan riap diameter batang kayu akibat dua tahun periode teresan, juga dirinci Soewarno.
Kalau tidak diteres, selama dua tahun akan ada pertumbuhan diameter batang kayu (riap). Katakan untuk satu tahun riapnya berkembang setengah centimeter saja, maka dalam dua tahun terjadi pemekaran satu centimeter per pohon.
“Jadi, kalau per pohon riapnya satu centimeter dikalikan sepuluh ribu pohon yang diteres misalnya, maka akan ada tambahan volume kayu sekian puluh meter kubik yang hilang percuma,” katanya.
Selanjutnya, kerugian dari pengeluaran ongkos teres, biaya mematikan pohon yang besarnya seribu rupiah per batang pohon. (P08J01.1 – SJTE)Foto Teresan bisa Anda lihat di http://sjte.blogspot.com