Menu Atas

 


SJ. Adam
Kamis, 10 Januari 2008, 23.19.00 WIB
Last Updated 2008-01-11T14:51:11Z
Story - Forest - Timberland

Hutan Jati Pagar Kawat di KPH Padangan

Advertisement
Story – Forest – Timberland


Lanjutan tentang area hutan jati hasil tanaman tahun 1857.


“Mengherankan,” demikian mungkin ucapan spontan kita, saat menyaksikan keadaan hutan jati tua di Kaliaren – Bojonegoro, Jawa Timur. Ternyata masih ada juga kawasan hutan yang tetap selamat bertumbuh sampai dengan kurun waktu hampir satu setengah abad.

Kekaguman seperti itu pula yang sempat muncul di kepala saya, sewaktu mengunjungi daerah hutan itu, Rabu (19/3/2003) lalu.

Ya, ketika benih tanaman jati itu ditanam (tahun 1857), kira-kira Abraham Lincoln baru berusia 48 tahun dan belum menjadi Presiden AS yang ke 16.

Sempat terpikir juga kalau keselamatan hutan itu adalah pula berkat kearifan sikap penduduk desa sekitarnya untuk tidak merusak kawasan tersebut.

Dari perjalanan “survei calon area wisata” bersama Administratur Padangan, Ir.Agus Hermansyah, Asper Kaliaren Barat, Sutomo dan Ajun Administratur Ir.Djoko Siswantoro siang hari itu, setidaknya dapat diperoleh gambaran tentang latar belakang keadaan hutan disana.

Penjelasan atas hal tersebut terungkap lewat perbincangan sambil melaju di dalam kendaraan Jeep yang mengantarkan kami ke lokasi hutan tua itu.
Demikian kutipannya:

Sutomo: Dari cerita para pendahulu kami di Perhutani, petak hutan nomor 84 ini juga dikenal dengan sebutan “hutan pagar kawat”.

“Artinya, hutan itu pada masa awal dulu pernah dipagar dengan kawat berduri. Kapan tepatnya ? Saya tidak bisa memastikan, yang jelas, selama saya disini sudah tidak ada sepotong pun bekas pagar kawatnya. Sejak awal tahun 2000 saya Asisten Perhutani di Kaliaren Barat,” katanya.

Kenapa dipagar ? Menurut ceritanya itu untuk diambil bijinya. Jadi dari lokasi itu terkenal kualitas biji yang baik untuk kemudian diambil dan disebarkan di daerah lain yang memerlukannya. Pada waktu itu yang mengelola masih Belanda.

Administratur Agus Hermansyah mengatakan kalau data-data tentang pemagaran kawasan hutan di daerahnya tersebut, belum pernah dijumpainya dalam dokumen resmi kehutanan.

Menurut Sutomo, disamping cerita tentang adanya pagar kawat berduri, terdapat juga lokasi yang dikeramatkan orang desa di sekitar kawasan hutan itu.

“Di sebelahnya memang ada semacam lokasi yang dikeramatkan. Di sebelah baratnya itu ada makam seseorang yang nampaknya sangat dihormati. La, disitu ada sungai,” ujarnya.

Konon, ceritanya dulu disana ada seseorang yang bertapa di tepi sungai sampai meninggal, lalu di batu sungai bekas dia pakai bertapa itu sering didatangi orang disamping berziarah ke gubuk makam pertama misterius itu.

Akhirnya, sampai sekarang tempat di dekat pohon jati besar itu dikenal dengan sebutan “tapan” yang artinya tempat untuk bertapa seseorang.

Kawasan hutan tua itu terletak cukup jauh dari kantong-kantong pemukiman penduduk desa. Satu desa yang terdekat dari sekian desa yang melingkarinya, adalah desa bernama “Malingmati”, ini pun jaraknya lebih dari dua kilometer.

Lokasinya yang cukup jauh dari desa terdekat ini agaknya yang membuat hutan disana cukup aman. Buktinya, menurut Sutomo, tanaman tahun 1857 itu dapat dikatakan masih relatif bagus.

“Artinya, bukan sama sekali tidak ada yang hilang, namun dibanding di daerah lain masih jauh lebih baik,” tuturnya. Ketika ditanya berapa pohon yang hilang menurut catatannya sampai saat ini ? Ia menjawab, ada 12 pohon.

Menurut penilaian Agus Hermansyah, kehilangan sejumlah pohon tersebut, di jaman yang sarat kasus penjarahan pohon seperti ini dapat dikatakan tidak ada artinya. “Mungkin mereka mengambil itu hanya untuk mengatasi keperluan daruratnya saja,” katanya.

Namun demikian, ia menyangkal kalau segenap penduduk desa di sekitar hutan tersebut dinilai memiliki kearifan dalam menyikapi keberadaan hutan di sekitarnya. “Malingmati itu kan karakter masyarakatnya dapat dikatakan terbagi dua, antara yang menjaga hutan dan yang ngrusuhi (mengganggu) hutan,” katanya menjelaskan.

Seakan menyampaikan kesimpulan, Agus Hermansyah berpendapat bahwa selamatnya kawasan hutan itu walau di jaman gencarnya para penjarah sekalipun, karena ditunjang beberapa faktor kondisi yang menguntungkan pihaknya.

“Yang pertama, katakanlah karena letaknya yang jauh dari desa ya. Yang kedua, itu kan disitu sering didatangi petugas. Dan, yang penting lagi pohonnya kan besar-besar, sehingga kalau pun toh dia mencuri, maka perlu sarana khusus untuk mengangkutnya,” beber Agus Hermansyah.

Menurut dia, faktor sarana khusus ini sangat mempengaruhi niat orang yang bermaksud mencuri pohon di sana. “Perlu sarana khusus ini pula yang gampang diketahui petugas kami. Lain kalau misalnya mengambil pohon yang gampang dipikul untuk membawanya dari hutan,” tuturnya lagi.

Ibaratnya, yang bisa dipikul itu dibawa lari kan bisa hilang. Kalau ini tidak akan bisa dipikul orang, saking besarnya lingkaran pohon-pohon tua itu.

Disamping karena sejumlah alasan faktor rasional seperti itu, adakah faktor subyektivitas orang desa, misalnya yang bersikap mengkeramatkan pohon tua, sehingga keberadaan hutan itu terlindungi ?

Sutomo: Tidak ada. Saya kira tidak ada. Jadi, betul tadi, karena pohonnya besar, sehingga kalau toh itu orang menebang, paling-paling yang diambil ujungnya yang kecil.

Dari kedua jawaban tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa ihwal selamatnya kawasan hutan tua di Padangan ini adalah bahwa ia hadir pada saat yang selalu tepat.

Yakni, di masa awal pertumbuhannya ia dilindungi pagar kawat berduri, sementara kini di era yang ganas pencurian kayu, ia sudah terlalu besar untuk dicuri oleh para maling berperalatan amatiran.

Agus Hermansyah pun seraya menimpali, pada jaman Belanda hutan kan masih banyak. Jadi, masalah pencurian kayu belum jadi problem sebesar sekarang. “ Kalaupun mencuri, paling jumlahnya satu dua pohon untuk memperbaiki rumah. Bukan untuk diperdagangkan,” katanya berasumsi.

Namun, bahkan Agus Hermansyah pun bertanya kepada Sutomo, pada tahun 1998 ketika merebak penjarahan pohon hutan, kira-kira bagaimana kok hutan itu juga bisa selamat ?

Sutomo pun lantas mencoba berteori, memang kalau dari masyarakat sekitar itu, tidak ada rasa (niat) untuk ikut menjarah kawasan hutan.
“Kalau sekedar rasa ingin menjarah memang ada. Tapi untuk secara frontal melakukan penjarahan tidak ada. Untuk daerah Padangan semasa ramai penjarahan, itu yang menjarah dari Ngawi,” tuturnya.

Menurut pengamatannya, penduduk pedesaan di seputar kawasan hutan tua tersebut sedikit banyak masih punya rasa handarbeni (memiliki untuk ikut menjaga, Sja).
“Dan, pada tahun-tahun 2000-2001, itu memang ada yang berusaha memprovokasi, tetapi untungnya mereka tetap tidak mau,” ujar Sutomo. (P07J01.2. – SJTE)Relevan photo see http://sjte.blogspot.com