Advertisement
PUTUSAN MK SOAL UU CIPTA KERJA DAN PROSPEK KELESTARIAN HUTAN JAWA
Oleh: Sugayo Jawama (Wartawan Hutan Jawa sejak 1986)
Pemberian waktu selama dua tahun ke depan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) agar pihak pembuat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) melakukan upaya perbaikan substansial, setidaknya dapat menyemaikan harapan agar kelak dalam penerapannya tidak sampai menimbulkan bencana lingkungan hidup dan kehutanan.
Potensi ancaman terhadap kemungkinan timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan sebagai ekses dari penerbitan UUCK secara tergesa-gesa, bukanlah hal yang mustahil terjadi. Karena ada kesan pembuat UUCK memandang beragam produk aturan yang sudah ada selama ini, semata sebagai hambatan bagi perijinan pembukaan kegiatan usaha sehingga dipandang perlu dipangkas dan disederhanakan. Bisa jadi tanpa dipahami terlebih dahulu, bahwasanya adanya beragam aturan itu sesungguhnya bertujuan untuk mencegah kembali terulangnya kerusakan yang pernah terjadi.
Sebagai misal, tentang kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura yang kemudian dikelola oleh Perum Perhutani. Itu adalah bagian yang masih tersisa dari riwayat pemanfaatan tanpa kendali kelestarian sejak era VoC (1602-1796) dan masih terus berlanjut sampai timbulnya kesadaran akan pentingnya upaya pelestarian hutan dan pemerintah Hindia Belanda mendirikan Jawatan Kehutanan pada tanggal 1 Juli 1897.
Ungkapan kritis senada juga dikemukakan Profesor Absori SH M.Hum, pakar Hukum dan Lingkungan Hidup dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). “Ada kesan, pembuat UUCK amat khawatir munculnya gugatan masyarakat melalui PTUN atas penerbitan perizinan usaha, sehingga hal ini dianggap menghambat investor mendirikan kegiatan usaha,” katanya dalam “zoom meeting” yang digelar Program Studi Ilmu Hukum, UMS, Sabtu (27/11) lalu.
Berikut ini sejumput catatan kritis seputar penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja dan kaitannya dengan masa depan upaya pelestarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kamis, 25 November 2021: Mahkamah Konsitusi (MK) menyatakan, UU Cipta Kerja cacat formil dan inskonstitusional bersyarat. MK memerintahkan tata cara pembentukan UU itu diperbaiki paling lama dua tahun. Putusan itu disambut positif sekaligus mengundang kritik. (Lead berita Harian Kompas dengan judul berita: “Pelajaran dari Cacat Formil UU Cipta Kerja”. Dalam berita yang diterbitkan koran nasional itu pada sehari sesudah MK mengumandangkan keputusannya, Jumat, 26 November 2021 itu tertulis, putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11/2021), yang menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah cacat formil jadi pelajaran bagi pemerintah an DPR untuk tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan UU. Di saat yang sama, revisi terhadap UU Cipta Kerja perlu segera dilakukan.
Sabtu, 27 November 2021: Acara Zoom Meeting: STUDIUM GENERALE, “Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Agraria Berbasis Kesejahteraan”.
Penyelenggara: Program Studi S3 Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Moderator: Moh. Indra Bangsawan, SH MH.
Narasumber: Dwi Purnama, SH MKn, Dr. Suhendro SH M.hum, Prof. Dr. Sudjito SH MSi (Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada), Prof. Dr. Absori SH M.hum (Guru Besar Fakultas Hukum UMS).
Profesor Absori SH M.hum: Telaah UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup
Dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diatur beberapa ketentuan yang dianggap bermasalah di bidang lingkungan hidup, yakni pasal pasal yang mengatur di bidang hukum administrasi yakni perizinan lingkungan, di bidang hukum perdata mengenai tanggungjawab mutlak dan bidang hukum pidana menyangkut sanksi pidana.
Perizinan Lingkungan
Hal menarik perhatian publik tentang adanya ketentuan penyederhanaan perizinan lingkungan untuk kegiatan usaha atau investasi.
Perizinan lingkungan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diganti menjadi Persetujuan Lingkungan.
Menurut Pasal 1 angka 35 UU No.32 tahun 2009 tentang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 1 angka 35 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebutkan Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengeloaan Lingkungan Hidup yang telah Mendapat Persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Pasal 36 UU No.32 Tahun 2009
1) Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki ijzin lingkungan.
(2) Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 24 UU No. 10 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha/kegiatan. Uji kelayakan lingkungan hidup dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.
Tim uji kelayakan terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, ahli bersertifikat.
Keputusan kelayakan lingkungan hidup digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha.
Pasal 26 menyebutkan bahwa Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha/kegiatan.
Pasal 27 Pemrakarsa proyek dapat menunjuk pihak lain yang mempunyai kompetensi menyusun Amdal.
Penyederhanaan Perijinan lingkungan
Di sini tampak bahwa UU Cipta Kerja menginginkan perlunya dilakukan penyederhanaan perizinan dalam berusaha dan investasi yang terkait dengan lingkungan hidup.
Penyederhanaan perizinan berusaha, akan mempengaruhi, merubah dan menghapus ketentuan perizinan yang diatur dalam UU No.32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dari ketentuan pasal pembuatan Amdal sebagai uji kelayakan perizinan usaha, peran masyarakat tampak dibatasi, seperti peran pemerhati lingkungan dan organisasi lingkungan.
Hal ini tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang menempatkan masyarakat sipil (civil society) sebagai bagian dari pilar demokrasi.
Masyarakat tidak bisa lagi mengajukan keberatan atau mengevaluasi terhadap dokumen Amdal yang dianggap bermasalah.
Masyarakat juga tidak bisa mengajukan gugatan perizinan usaha ke Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN). Karena pasal 93 UU No.32 Tahun 2009 yang mengatur gugatan perizinan usaha ke PTUN dihapus.
Pembuat UU Cipta Kerja amat khawatir terhadap banyaknya gugatan masyarakat perizinan usaha melalui PTUN yang dianggap menghambat investor dalam mendirikan kegiatan usaha.
Beberapa contoh seperti gugatan masyarakat terhadap pendirian PT Semen Indonesia di Rembang yang dimenangkan masyarakat dan gugatan masyarakat terhadap reklamasi pantai Jakarta Utara.
Sejuta Hektare Hutan Jawa akan Lepas dari Perhutani
Ihwal kemungkinan akan lepasnya sekitar sejuta hektare lahan kawasan hutan produksi di pulau Jawa dan Madura sebagai konsekwensi pemberlakuan UU Cipta Kerja, yang menuntut ketersediaan lahan bagi usaha Perhutanan Sosial, pun sempat meramaikan khasanah berita media massa.
Selasa, 23 Maret 2021: Dua organisasi Pegawai Perum Perhutani, masing-masing Serikat Karyawan (Sekar) Perhutani yang dipimpin Muhammad Ikhsan dan Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P) dengan Ketua Umum, Slamet Juwanto, menyatakan keprihatinan atas kemungkinan lepasnya sekitar 6000 karyawan dan seluas satu juta hektar lahan kehutanan yang saat ini dalam pengelolaan Perum Perhutani di pulau Jawa dan Madura. “Salah satu konsekuensi pemberlakuan PP yang merupakan amanat Pasal 36 dan Pasal 185 Huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah melepas sekitar satu juta hektare lahan yang sebelumnya masuk kawasan hutan Negara yang dikelola Perhutani”. (cuplikan pernyataan sikap tersebut yang kemudian dikutip media online: jateng.antaranews.com, Rabu 24 Maret 2021)
Demikian gampangnya perwujudan niat untuk melepaskan satu juta hektar dari sekitar 2,4 juta ha kawasan hutan produksi milik negara, seakan mengabaikan proses sejarah panjang upaya penyelamatannya dahulu. Jumlah kawasan hutan itu pun masih di bawah hitungan 20 persen dari luas seluruh daratan pulau Jawa dan Madura. Padahal idealnya bagi kelangsungan kinerja suatu ekosistem, setidaknya perlu luasan kawasan hutan sejumlah 30 % dari luas daratan suatu pulau.
Adapun alasan pengelolaan usahanya oleh Perhutani selaku BUMN, tujuan utamanya agar proses kontrol kelestariannya dapat lebih terjamin.
Sejarah Perhutani Jawa Madura
Berdirinya Perusahaan Umum Kehutanan Negara Republik Indonesia, yang kemudian populer dalam sebutan ringkas “Perhutani” selaku pengelola kawasan hutan di Jawa dan Madura, berangkat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1972. (Sugayo Jawa Adam dan Imam Fuji Raharjo, dalam buku Dialog Hutan Jawa: Mengurai Makna Filosofis PHBM, Pustaka Pelajar, 2007).
PP negara Indonesia tersebut terbit pada tanggal 29 Maret 1972, sehingga pada tanggal itu juga dikenal sebagai hari lahirnya Perusahaan Umum Kehutanan Negara Indonesia (Perhutani).
Penerbitan PP15 itu juga menandai awal penggabungan kembali sistem pengelolaan kawasan hutan produksi di Jawa Timur dengan yang ada di Jawa Tengah. Karena sebelumnya sempat masing-masing berdiri sendiri dalam wadah berbentuk Perusahaan Negara (PN). Yakni PN Perhutani Jawa Timur yang terbentuk berdasarkan PP Nomor 18 tahun 1961 dan PN Perhutani Jawa Tengah yang didirikan sesuai PP Nomor 19 tahun 1961. Pada waktu itu, wilayah kerja PN Perhutani Jawa Tengah sempat menjangkau kawasan hutan di pulau Kalimantan. Yaitu meliputi Perhutani Kalimantan Timur, Perhutani Kalimantan Selatan dan Perhutani Kalimantan Tengah.
Pada tahun 1978, seiring terbitnya PP Nomor 2 tahun 1978, kembali terjadi proses penggabungan. Kali ini giliran wilayah produksi di Propinsi Jawa Barat yang sebelumnya dikelola tersendiri dengan wadah Perusahaan Jawatan Kehutanan. Proses penyatuan ini kian kokoh seiring pelepasan wilayah kerja Perhutani di Kalimantan yang ditandai dengan penerbitan PP nomor 36 tahun 1986.
Wilayah kerja Perum Perhutani di pulau Jawa dan Madura merupakan peninggalan dari Jawatan Kehutanan di masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada waktu itu sebutannya adalah “Boswezen Jawa Madura” yang adalah bagian dari “Het Boswezen” yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1897.
“Het Boswezen” alias Jawatan Kehutanan itu sendiri adalah satu dari 16 Jawatan di bawah “Departemen van Landbouw” (Departemen Pertanian) yang eksistensinya terus berlangsung sampai dengan datangnya serbuan balatentara Kekaisaran Jepang pada 1942.
Di masa pendudukan Jepang sampai dengan dalam tahun tahun awal pasca pernyataan Kemerdekaan RI di tahun 1945, keadaan pengurusan hutan kembali terbengkelai.
Sejarah panjang tentang dinamika keadaan hutan di pula Jawa dan Madura yang identik dengan produksi kayu jati, sempat ditulis secara mendetail oleh R. Soepardi Poerwokoesoemo, alumni Middlebare Landbouw-school Buitenzorg – Sekolah Pertanian Bogor (1919-1922), sekolah tertinggi di bidang pertanian di jaman Hindia Belanda.
Naskah yang disusunnya antara 1974 sampai 1975 itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman”. Buku itu sendiri dapat terbit atas permintaan Profesor Soekiman, sosok Direktur Utama Perhutani yang dikenal sebagai pemrakarsa Konferensi Kehutanan Dunia, di Semarang, pada tahun 1973.
Dalam buku yang ditulis oleh sosok berpengalaman praktik selama 30 tahun bergelut di bidang pekerjaan kehutanan itu, diungkapkan dinamika pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Jawa dan Madura dalam masa berdirinya Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa sampai dengan era kekuasaan VoC (1602-1796). Kemudian masa pemerintahan Inggris dan masa kembalinya pemerintah Kerajaan Belanda. Jaman pendudukan Jepang sampai masa kemerdekaan RI (1942-1950).
Ditulis dalam buku tersebut, menjelang kebangkrutannya pada 1796, beberapa petinggi V0C/ Perusahaan Dagang Hindia Timur mulai menyadari pentingnya melakukan upaya pengusahaan hutan jati yang lestari. Tahun 1804, di saat Kerajaan Belanda ditaklukan Perancis, terbitlah sebuah Akta yang memerintahkan upaya perbaikan kerusakan hutan. Kemudian pemerintah Belanda Republik Batavia bentukan Napolen Bonaparte menugaskan Herman Willem Daendels untuk melakukan perbaikan.
Sebagai Gubernur Jenderal, Daendels dalam kurun tiga tahun (1808-1811) berhasil mendata dan menata ulang seluruh kawasan hutan jati di Jawa dan Madura berikut struktur organisasi pengurusannya. Struktur kerja dan wilayah hutan warisan Daendels itulah yang sebetulnya jadi pola struktur pembagian wilayah dan organisasi kerja seperti yang sekarang.
Sayangnya produk rintisan Daendels tidak berlanjut. Seiring masuknya tentara Inggris yang menyingkirkan Gubernur Jenderal Jansen pengganti Daendels, Raffles naik sebagai Gubernur Jenderal atas nama pemerintah Kerajaan Inggris. Tindakan pertama Raffles adalah menganulir seluruh produk aturan buatan Daendels. Termasuk karya monumental Daendels dalam penataan hutan Jawa.
Selama lima tahun kepemimpinan Inggris sejak perjanjian Tuntang 1811 sampai Inggris menyerahkan kembali pulau Jawa kepada Kerajaan Belanda, urusan perbaikan hutan jati Jawa benar-benar kembali ke titik nadir.
Gedung tempat serah terima pulau Jawa dari Belanda kepada Britania pada tahun 1811, di desa Tuntang, kawasan perkebunan Tlogo, Kabupaten Semarang. (Foto: SJA)
Baru kemudian pada tanggal 1 Juli 1897, setelah melalui proses dinamika lama dan melelahkan, pemerintah Hindia Belanda berhasil membentuk Jawatan Kehutanan (Het Boswezen) yang sempat meraih predikat terbaik di Asia Tenggara pada awal abad ke 20.
Selain memiliki Het Boswezen, Departemen van Landbow (Kementerian Pertanian) juga menaungi dinas-dinas: Pertanian, Pendidikan Pertanian, Kebunraya Bogor, Perikanan, Peternakan, Peternakan Kuda, Kedokteran Hewan, Pendidikan Dokter Hewan, Perkebunan Kopi Pemerintah, Perindustrian, Perdagangan, Pertaraan (kalibrasi timbangan) dan Perkumpulan di bidang pengetahuan alam (Natuurwetenschap).
(**SJA)