Advertisement
Transtoto Handadhari (Direktur Utama Perhutani 2005-2008) rupanya masih peduli kelestarian kawasan hutan.
Meskipun tidak lagi pegang jabatan apa pun di birokrasi kehutanan negeri ini, masih teliti perhatiannya pada ragam tindakan atau produk aturan yang bisa jadi potensial timbulkan perbuatan merusak hutan.
"Saya sedang khawatir akan potensi buruk yang bisa jadi bom waktu perusakan hutan dari Peraturan Bersama Menhut, Mendagri, Menteri PU dan Kepala BPN yang telah ditandatangani pada 17 Oktober 2014. Persis tiga hari jelang pelantikan Presiden Jokowi," katanya di Semarang, Senin (23/02).
Substansi yang berbahaya dari instrumen kebijakan itu bagi keberadaan kawasan hutan adalah karena para perambah hutan justru disediakan sertifikat kepemilikan lahan.
"Bukannya diusir atau ditangkap, orang yang menduduki kawasan hutan negara malah bisa dapatkan sertifikat lahan," katanya soal produk peraturan pemerintah yang dia nilai berbahaya itu.
Menurut dia, dalam permen bersama itu tidak ada penjelasan spesifik ihwal kriteria kawasan hutan negara yang bisa disertifikatkan dan mana saja yang tidak boleh.
"Artinya, mau itu di hutan lindung atau hutan konsesi boleh dimintakan sertifikat kepemilikan lahan. Asalkan seseorang sudah berdiam disana bisa langsung urus sertifikat, sedang yang baru satu hari silakan tunggu 20 tahun lagi dan dapat minta bantuan proyek dari pemerintah dalam program kemasyarakatan yang berkaitan kehutanan," ungkapnya kesal.
Apa yang dia khawatir kan itu konon sudah terjadi di daerah Kalimantan Tengah.
"Pihak BPN setempat sudah terbitkan 167 sertifikat semacam itu. Bahkan sekarang, para Demang atau pemuka adat kecamatan di sana sudah mengajak warga nya untuk masuk hutan dan mematokinya seluas 5 hektar per orang," tutur Trantoto. Tak akan lama lagi bisa habis seluas hutan negara RI.
"Sungguh itu, kalau tidak segera dilakukan tindakan koreksi kebijakan, bakalan habis hutan kita dalam waktu singkat.(Sjte-140224 sel)