Advertisement
History – Teak forest – Plant
Selanjutnya, 57 tahun kemudian, terbitlah peraturan hukum pertama di bidang kehutanan, yakni Boschreglement 1865 yang merupakan produk hukum awal yang mengacu kepada azas kekekalan hutan. Pada intinya diundangkan agar dapat dicegah tindakan liar penebangan hutan Jawa yang telah mengancam kelestariannya.
Sesudah yang pertama tersebut disusul penetapan Boschreglement yang kedua pada 1874 - Dengan produk peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan ini - mulai dilakukan pembagian Kesatuan Hutan di seluruh Jawa. Dalam masa ini pula penataan kawasan hutan mulai dapat ditetapkan meskipun belumlah sampai terinci.
Yaitu berawal dari tindakan penetapan batas Kesatuan Hutan yang dinamakan boschdistrict dengan landasan ordonansi 10 September 1874 Staatsblad No.215 dan mulai berlaku bersamaan dengan Reglement hutan baru pada tanggal 3 Mei 1875 (Stsbl.no.84)
Kawasan hutan jati di pulau Jawa dan pulau Madura dibagi-bagi menjadi 13 Distrik Hutan (J.W.H. Cordes, Inspekteur b.h. Boschwezen in Ned. Ind. De Djatibosschen op Jawa 1881 hal.255 – pada 1887 meletakan jabatan Chef v.h. Indisch Boschwezen), sebagai berikut:
1. Karesidenan Banten dengan Kabupaten Cianjur ( Karesidenan Priangan);
2. Karesidenan Priangan, kecuali Kabupaten Cianjur, dengan Karesidenan Karawang dan Cirebon;
3. Karesidenan Tegal dan Pekalongan;
4. Karesidenan Semarang;
5. Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas;
6. Karesidenan Jepara;
7. Kabupaten Rembang dan Blora dan Karesidenan Rembang;
8. Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dari Karesidenan Rembang;
9. Karesidenan Surabaya dan Pasuruan;
10. Karesidenan Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi;
11. Karesidenan Kediri;
12. Karesidenan Madiun, kecuali Kabupaten Ngawi; dan
13. Kabupaten Ngawi dari Karesidenan Madiun dan Karesidenan Surakarta.
Dalam kawasan boschdistrict Priangan, Krawang, Banyumas, Bagelen dan Probolinggo-Besuki terdapat sebagian besar hutan rimba. Sedangkan hutan jati dalam 10 boschdistrict lainnya terdapat lebih kurang 600 ribu hektare.
Du Quesne van Bruchem (Tectona 1935 hal. 92) menceritakan pekerjaan panitia yang mengurus/memeriksa hutan jati di daerah hutan Pati (ex boschdistrict Jepara) dalam tahun 1776 – bahwa isi hutan jati sejak 1776 sampai dengan tahun 1925 (kurun waktu 149 tahun) mengalami pengurangan luas mencapai lebih kurang 75 %.
Akan tetapi sempat muncul pula kasus anomali dalam pencatatan tentang jumlah luas hutan jati, yaitu dicatat pada tahun 1874 luasnya hanya 600 ribu hektare, namun hasil pencatatan ulang pada tahun 1940 justru menyebutkan jumlah luas hutan jati mencapai 824.049 hektare.
Sedangkan oleh Ham – dalam notanya – menggambarkan riwayat hutan boschdistrict Probolinggo – Besuki: bahwa di masa kekuasaan kumpeni di sisi Selatan kawasan hutan tersebut pernah terjadi banyak pengrusakan dan pembukaan kawasan hutan.
Sekitar tahun 1770, tulis Ham, tentara kumpeni melakukan ekspedisi dari Banyuwangi ke Jember melalui lereng Selatan Gunung Raung.
“Disini timbul peperangan hebat, karena ketika itu daerah Lumajang dan Blambangan adalah pusat perlawanan oleh kekuasaan setempat. Namun pemandangan pada 1884 tampak daerah tersebut sudah tertutup hutan lagi,” ujar Ham. (P02J02.3 – SJTE)
Selanjutnya, 57 tahun kemudian, terbitlah peraturan hukum pertama di bidang kehutanan, yakni Boschreglement 1865 yang merupakan produk hukum awal yang mengacu kepada azas kekekalan hutan. Pada intinya diundangkan agar dapat dicegah tindakan liar penebangan hutan Jawa yang telah mengancam kelestariannya.
Sesudah yang pertama tersebut disusul penetapan Boschreglement yang kedua pada 1874 - Dengan produk peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan ini - mulai dilakukan pembagian Kesatuan Hutan di seluruh Jawa. Dalam masa ini pula penataan kawasan hutan mulai dapat ditetapkan meskipun belumlah sampai terinci.
Yaitu berawal dari tindakan penetapan batas Kesatuan Hutan yang dinamakan boschdistrict dengan landasan ordonansi 10 September 1874 Staatsblad No.215 dan mulai berlaku bersamaan dengan Reglement hutan baru pada tanggal 3 Mei 1875 (Stsbl.no.84)
Kawasan hutan jati di pulau Jawa dan pulau Madura dibagi-bagi menjadi 13 Distrik Hutan (J.W.H. Cordes, Inspekteur b.h. Boschwezen in Ned. Ind. De Djatibosschen op Jawa 1881 hal.255 – pada 1887 meletakan jabatan Chef v.h. Indisch Boschwezen), sebagai berikut:
1. Karesidenan Banten dengan Kabupaten Cianjur ( Karesidenan Priangan);
2. Karesidenan Priangan, kecuali Kabupaten Cianjur, dengan Karesidenan Karawang dan Cirebon;
3. Karesidenan Tegal dan Pekalongan;
4. Karesidenan Semarang;
5. Karesidenan Kedu, Bagelen dan Banyumas;
6. Karesidenan Jepara;
7. Kabupaten Rembang dan Blora dan Karesidenan Rembang;
8. Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dari Karesidenan Rembang;
9. Karesidenan Surabaya dan Pasuruan;
10. Karesidenan Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi;
11. Karesidenan Kediri;
12. Karesidenan Madiun, kecuali Kabupaten Ngawi; dan
13. Kabupaten Ngawi dari Karesidenan Madiun dan Karesidenan Surakarta.
Dalam kawasan boschdistrict Priangan, Krawang, Banyumas, Bagelen dan Probolinggo-Besuki terdapat sebagian besar hutan rimba. Sedangkan hutan jati dalam 10 boschdistrict lainnya terdapat lebih kurang 600 ribu hektare.
Du Quesne van Bruchem (Tectona 1935 hal. 92) menceritakan pekerjaan panitia yang mengurus/memeriksa hutan jati di daerah hutan Pati (ex boschdistrict Jepara) dalam tahun 1776 – bahwa isi hutan jati sejak 1776 sampai dengan tahun 1925 (kurun waktu 149 tahun) mengalami pengurangan luas mencapai lebih kurang 75 %.
Akan tetapi sempat muncul pula kasus anomali dalam pencatatan tentang jumlah luas hutan jati, yaitu dicatat pada tahun 1874 luasnya hanya 600 ribu hektare, namun hasil pencatatan ulang pada tahun 1940 justru menyebutkan jumlah luas hutan jati mencapai 824.049 hektare.
Sedangkan oleh Ham – dalam notanya – menggambarkan riwayat hutan boschdistrict Probolinggo – Besuki: bahwa di masa kekuasaan kumpeni di sisi Selatan kawasan hutan tersebut pernah terjadi banyak pengrusakan dan pembukaan kawasan hutan.
Sekitar tahun 1770, tulis Ham, tentara kumpeni melakukan ekspedisi dari Banyuwangi ke Jember melalui lereng Selatan Gunung Raung.
“Disini timbul peperangan hebat, karena ketika itu daerah Lumajang dan Blambangan adalah pusat perlawanan oleh kekuasaan setempat. Namun pemandangan pada 1884 tampak daerah tersebut sudah tertutup hutan lagi,” ujar Ham. (P02J02.3 – SJTE)