Advertisement
History – Teak forest – Plant
Sebelum pengelolaan hutan ditangani para ahli di bidang pemerintahan, pendataan luas hutan di pulau Jawa belum pernah dilakukan. Sejarah hutan Jawa boleh dibilang, menunjukkan luas hutan yang cenderung terus menyusut – meskipun tidak tersedia data pembanding yang dibuat pada masa kekuasaan kumpeni (pedagang) dari Belanda (VOC), untuk mengetahui jumlah luasan sebelumnya.
Setelah era kumpeni berakhir ditangan Bataafsche Republiek, maka sesuai perjanjian (Constitutie der Bataafsche Republiek 1798) semua harta dan hutang kumpeni diambil alih oleh penguasa baru yang dipimpin Aziatische Raad, yang menurut pasal 249 harus membuat dan merencanakan charter untuk mengurus daerah jajahan.
Charter ini selesai dibuat dalam tahun 1803 dan pada tahun 1804 diberlakukan, yang salah satu point-nya – produk hukum dalam peraturan ini – menyebutkan bahwa “semua hutan di Jawa menjadi milik pemerintah”.
Berlandaskan keputusan tersebut, maka mulai tahun 1808 Daendels (Gubernur Jenderal, s/d Mei 1811) mengangkat sejumlah pejabat dengan kewenangan masing-masing:
1. Inspektur Jenderal Hutan Kayu untuk seluruh Jawa;
2. Sekretaris dan Fiskal diperbantukan kepada Inspektur Jenderal Hutan Kayu;
3. Presiden dan anggota untuk administrasi hutan kayu;
4. Posgangger; dan
5. Komisaris kayu.
Daendels (14 Januari 1808 s/d 16 Mei 1811 menjadi Gubernur Jenderal – Tijds. V. Ned. Ind. 1869 jg. 3 dl II blz. 158 G.H.v. Soest), dalam tahun 1808 menetapkan peraturan bahwa:
a. Penguasaan hutan harus dilaksanakan oleh Boschwezen (untuk pertama kali istilah ini digunakan);
b. Pemungutan hasil hutan harus dijalankan oleh Boschwezen; dan
c. Perdagangan kayu oleh partikelir tidak lagi diijinkan.
(P02J02.1 – SJTE).
Sebelum pengelolaan hutan ditangani para ahli di bidang pemerintahan, pendataan luas hutan di pulau Jawa belum pernah dilakukan. Sejarah hutan Jawa boleh dibilang, menunjukkan luas hutan yang cenderung terus menyusut – meskipun tidak tersedia data pembanding yang dibuat pada masa kekuasaan kumpeni (pedagang) dari Belanda (VOC), untuk mengetahui jumlah luasan sebelumnya.
Setelah era kumpeni berakhir ditangan Bataafsche Republiek, maka sesuai perjanjian (Constitutie der Bataafsche Republiek 1798) semua harta dan hutang kumpeni diambil alih oleh penguasa baru yang dipimpin Aziatische Raad, yang menurut pasal 249 harus membuat dan merencanakan charter untuk mengurus daerah jajahan.
Charter ini selesai dibuat dalam tahun 1803 dan pada tahun 1804 diberlakukan, yang salah satu point-nya – produk hukum dalam peraturan ini – menyebutkan bahwa “semua hutan di Jawa menjadi milik pemerintah”.
Berlandaskan keputusan tersebut, maka mulai tahun 1808 Daendels (Gubernur Jenderal, s/d Mei 1811) mengangkat sejumlah pejabat dengan kewenangan masing-masing:
1. Inspektur Jenderal Hutan Kayu untuk seluruh Jawa;
2. Sekretaris dan Fiskal diperbantukan kepada Inspektur Jenderal Hutan Kayu;
3. Presiden dan anggota untuk administrasi hutan kayu;
4. Posgangger; dan
5. Komisaris kayu.
Daendels (14 Januari 1808 s/d 16 Mei 1811 menjadi Gubernur Jenderal – Tijds. V. Ned. Ind. 1869 jg. 3 dl II blz. 158 G.H.v. Soest), dalam tahun 1808 menetapkan peraturan bahwa:
a. Penguasaan hutan harus dilaksanakan oleh Boschwezen (untuk pertama kali istilah ini digunakan);
b. Pemungutan hasil hutan harus dijalankan oleh Boschwezen; dan
c. Perdagangan kayu oleh partikelir tidak lagi diijinkan.
(P02J02.1 – SJTE).